Hari ke-3, catatan ke-5 (Catatan KKN 2014) Warungasem, 03 Oktober 2014
Nampak jelas kepolosan pada wajah-wajah mereka. Sesekali
kepalanya menoleh kanan kiri. Di sampingnya ada teman yang terkadang kadang menimpali
sesekali ia bicara. Ketika itu tawa tulus mereka lepas, tergambar dari dua
bibir yang melebar kesamping. Bersamaan dengan itu, tak henti-hentinya mulut
mereka menirukan bacaan-bacan yang dilantunkan oleh kakak-kakak seneornya.
Malam itu mereka membaca burdah di sebuah masjid yang
tak jauh dari yayasan yang mereka tempati. Lagu yang dilantunkan ala pesantren.
Peristiwa itu mengingatkan saya ketika masih ikut nyantri di Pondok Pesantren
Mashlahatul Hidayah Sumenep atas asuhan K. Mustandji Yusuf (Alm.). Bagaimana
keadaan pondok pesantren tidak jauh berbeda satu sama lain.
Hanya saja malam itu saya bersama dengan anak-anak tak
berdosa yang telah ditinggal pergi orang tuanya. Aku senang. Kali pertama aku
bisa berkumpul bersama anak-anak yatim. Menatap wajah-wajah mereka yang polos.
Menyaksikan kebersamaan mereka saat ngaji, walau tidak secara utuh. Dan
mendengarkan lagu-lagu mereka ketika membaca Rotib, Barzandjih dan Burdah.
Tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi alasan mengapa
aku harus terdampar di desa ini. Desa Warungasem Kecamatan Warungasem Kabupaten
Batang. Selama kurang lebih 40 hari aku akan berada di desa ini. Terhitung
mulai 30 September-07 November 2014 mendatang.
Mereka
tinggal di Yayasan Al Mabrur atas asuhan K. Marzuki. Tidak banyak anak yatim
yang diasuh beliau. Tidak lebih dari 30 anak. Malam itu ada 9 orang yang
terlihat masih polos. Sisanya sudah agak besar. Kisaran umur 10-19 tahun.
Mereka
berdiri berjejer. Aku melihatnya satu persatu. Satu anak berdiri di sampingku.
Sesekali aku menatapnya. “Kalian semua adalah generasi penerus bangsa. Satu
atau dua diantara kalian pasti ada yang menjadi orang hebat,” pikirku.
Usai
kegiatan, aku dan beberapa temanku satu tim berkumpul di serambi Masjid. Ada
Kyai Marzuki di tengah-tengah kami. Saat itu bertepatan dengan malam jumat.
Semua santri makan bersama di Masjid. Kamipun ikut makan atas permintaan Kyai.
Di
sela-sela kami makan, obrolan-obrolan santai terjadi. “Kalau soto Madura
bedanya apa dengan soto di sini?” tanyanya padaku.
“Kalau di
Madura biasanya pakai ketupat, mbah” jawabku.
“Kalau
sini ya pakai ketupat bisa pake nasi juga bisa,” timpalnya kyai dengan nada
agak guyon.
Setelah
itu obrolan pun berlanjut kemana-mana termasuk mengenai anak yatim. Bahwa anak
yatim selalu memiliki keajaiban-keajaiban. Ada yang terlihat tidak terlalu baik
dalam menangkap pelajaran namun ia punya, dalam bahasa yang sudah masyhur, mata
batin. Mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Aneh-aneh kalau dalam bahasa
kasarnya.
No comments:
Post a Comment