Islam dan Utopia
Negara Ideal
Judul Buku :
Ideologi Islam dan Utopia
Penulis
: Luthfi Assyaukani
Penerbit :
Freedoom Institute
Cetakan :
Agustus 2011
Tebal : Cover
+ 330 halaman
Harga :
75.000
Modernisasi sebagai
akibat dari globalisi telah memengaruhi seluruh lini kehidupan. Tak terkecuali
pola pikir seseorang. Alih-alih pengetahuan mendalam mampu membendung “doktrin”
yang tanpa sadar ditawarkan. Sebaliknya, ia justru menjadi pondasi dalam
menguatkan argumen logis yang tampil dipermukaan.
Banyak muslim Indonesia pada tahun 1930-an
menolak gagasan nasionalis, tapi 10 tahun kemudian menerimanya. Sementara pada
tahun 1950-an dari mereka banyak menuntut pendirian negara islam, namun 20
tahun kemudian mereka menolaknya. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dengan keras
mereka menolak skularisme, namun 30 tahun kemudian mulai menerimanya. Dapat
ditemui pula pada masa ini semakin banyak kelompok muslim yang terbuka dengan
berbagai konsep seperti demokrasi, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia.
Fakta lain sikap
religius-politik muslim di indonesia dari masa ke masa pasca kemerdekaan dapat ditilik dari hasil pemilihan
umum yang telah berlangsung pada tahun 1955, 1999, 2004, 2009. Dalam perspektif
historis, muslim indonesia secara politik menjadi lebih pragmatis dan rasional.
Jelas, tiga pemilu terakhir politik islam gagal memperbaiki rapor yang mencapai
43% pada pemilu pertama. Dalam pemulit
selanjutnya, partai-partai islam hanya meraih suara kurang
dari 20%
dari total suara yang diperebutkan.
Secara politis, kekalahan politik tersebut
memang tidak lepas dari pengaruh politik yang dimainkan oleh rezim Soeharto
yang cukup represif dalam memimpin. Luthfi Assyaukanie menyebutkan adanya
pengaruh besar intelektual muslim Indonesia
yang secara perlahan mulai menyerap dan menerima modernitas sebagai bagian dari
runutan hidup yang tidak dapat dihindari. Argumen-argumen Islam yang dikembangkan oleh
forum-forum intelektual, publikasi-publikasi,
dan lingkungan akademis memainkan peran cukup besar. Argumen mengenai isu
politik akan tersingkir bila argumen baru muncul dan dianggap lebih cocok dan
logis. Benar apa yang dikatakan Neta Crawford bahwa argumen adalah komponen
nyata dalam perubahan sosial dan politik yang perannya sama penting dengan
kekuatan meliter.
Buku Ideologi Islam dan Utopia
ini dengan rinci memaparkan tiga bentuk negara demokrasi yang dinilai cukup
representatif untuk mewakili corak pemikiran intelektual muslim Indonesia pasca
kemerdekaan hingga sekarang dalam mengkonstruk ideologi
Indonesia ke dalam tiga perkara, yakni: Negara Demokrasi Islam, Negara
Demokrasi Agama, dan
Negara Demokrasi liberal.
Pertama, Negara
Demokrasi Islam. Upaya pendirian Negara Demokrasi Islam berawal dari keputusan
kontoversial PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Idonesia) yang menghapus formula-formula Islam. Keputusan tersebut memicu
muslim Indonesia untuk mewujudkan model
politik islam yang dianggap mulia. Mereka meyakini demokrasi tidak berbeda
dengan rumusan islam tentang negara. Mekipun demokrasi dalam makna modern tidak
akan pernah ditemui dalam tradisi islam klasik, pada hakikatnya, merupakan salah satu pilar
dari empat dasar negara islam disamping kewajiban (amanah), keadilan dan
ketuhanan. Inilah sekilas tawaran yang dinilai cukup layak menjadi daya jual
konsep-konsep yang diusung model pertama.
Kedua, Negara Demokrasi
Agama. Dalam Negara Demokrasi Agama, model pemikiran terlihat semakin terbuka
dan mulai menerima prodak yang ditawarkan era modern. Mereka mulai
menghilangkan sifat curiga terhadap agama lain dan lebih bertekat menjalani
hidup yang baru dengan menerima pemikiran liberal agama dalam masyarakat yang
multireligius. Banyaknya kalangan santri yang melanjutkan pendidikan di
universitas barat mungkin menjadi faktor utama ihwal tersebut. Di dalam keadaan
seperti ini, banyak pula generasi baru muslim yang kurang menaruh perhatian
terhadap isu-isu lama, tentang perpecahan antara Ortodoksi dan Modernisme atau
tentang kesulitan hidup dalam sebuah masyarakat yang beragam (hal. 127).
Model yang banyak
disokong pemimpin muslim yang bekerja sama dengan Soeharto ini mempunyai dasar
pijak: penerimaan terhadap Pancasila. Keprihatinan Soeharto mengkonsolidasikan
unsur-unsur kebangsaan yang terfragmen secara ideologis
menjadi alasan utama penerimaan pancasila. Dengan pancasila, mereka meyakini
bahwa masyarakat akan menjadi “religius” sebab dalam pancasila mengandung
seluruh aspirasi rakyat. Namun, walaupun diakui tidak lepas dari kepentingan
pragmatis Soeharto. Model
ini adalah bagian konstruksi teoritis oleh Muslim berdasarkan relitas yang
mereka hadapi.
Ketiga, Negara Demokrasi
Liberal. Model ini berangkat dari fondasi sosiologis bahwa Indosesia adalah
negeri pluralis, sehingga upaya untuk menciptakan integeritas sosial haruslah
sesuai dengan prinsip-prinsip pluralisme(hal. 181). Robet Nozick, pemikir gagasan negara minimal
dalam filsafat politik barat percaya bahwa semakin sedikit campur negara dalam
urusan masyarakat, semakin baik pula fungsi negara itu. Barangkali karena
alasan inilah, pendukung model ini mengkritik posisi hegemonik negara terhadap
aktivitas religius masyarakat dan
secara radikal mencoba menghadirkan format hubungan agama dan negara.
Lahirnya model ini
merupakan respon terhadap berbagai problematika ihwal hubungan agama dan negara
yang mengkritik posisi hegemonik negara atas aktivitas religius masyarakat yang
yang ada pada model perma dan kedua. Liberalisme ini dipelopori oleh beberapa
pemikir islam seperti Nurcholis
Madjid (1939-2005) dan
Johan Efendi.
Menurut Luthfi
Assyaukani, sejarah pemikian politik Islam di Indonesia adalah sejarah
modernisasi dan kemajuan. Terbukti, lahirnya pemikiran liberal seperti pada
model terakhir. Perubahan pemikiran tersebut mencerminkan kegelisahan muslim
indonesia akan tergencatnya doktrin agama dalam masyarakat multireligius,
sehingga mau tidak mau harus membentuk sistem politik islam yang selaras dengan
perkembangan masa kini. Dengan kata lain, muslim di Indonesia mulai merindukan
pemerintahaan ideal yang anti kekerasan.
Hanya saja dalam bab
terakhir buku ini Lutfi menyayangkan, banyak studi tentang pemikiran Islam di Indoseia sangat menekankan ideologi politik tanpa pertimbangan
cukup terhadap peran utopia.
Berbagai argumen dan gagasan besar seperti demokrasi, pluralisme, dan liberalisme tidak bisa
dipahami dengan tepat tanpa pengkajian konseptualisasi muslim akan pemerintahan. Inilah
kritik dosen Filsafat politik Universitas Paramadina ini tehadap pemikiran
muslim Indonsia dalam upaya membangun Ideologi
negara. Akhirnya, negara ideal tak lebih sekedar bayang-bayang semu yang tidak
mungkin terwujud, alias utopia belaka.
Miftahul Arifin,
Peneliti Idea Studuies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang (Februari
2012)