Friday 20 July 2012

Menengok Pemerintahan SBY-Budiono


Oleh Miftahul Arifin
Dimuat di Malang Pos, sabtu 26 Mei 2012

Judul Buku  : Pilpres Abal-Abal, Republik  Amburadul
Penulis         : Adhie M. Massardi, dkk
Penerbit       : Republika Penerbit
Cetakan        : Oktober, 2011
Tebal            : Cover + 432 halaman
ISBN            : 978-602-8997-38-6
Harga           : 75.000

Pengingkaran seorang pemimpin terhadap realitas kehidupan masyarakat dan ambivalensi dalam penegakan hukum menjadi sumbu masalah yang mengakumulasi kekecewaan dan kemarahan rakyat. Dari sini, pemerintah mengalami krisis kepercayaan dan terus-menerus mendapat kecaman dari masyarakat.
Inilah potret pemerintahan SBY-Budiono yang digambarkan dalam buku ini. Ternyata, disamping sikap dan posisi presiden yang amat menyakinkan untuk menegakkan hukum dan menyatakan perang terhadap

Thursday 19 July 2012

Islam dan Utopia Negara Ideal



Islam dan Utopia Negara Ideal

Judul Buku                    : Ideologi Islam dan Utopia
Penulis                 : Luthfi Assyaukani
Penerbit               : Freedoom Institute
Cetakan                : Agustus 2011
Tebal                    : Cover + 330 halaman
Harga                  : 75.000

Modernisasi sebagai akibat dari globalisi telah memengaruhi seluruh lini kehidupan. Tak terkecuali pola pikir seseorang. Alih-alih pengetahuan mendalam mampu membendung “doktrin” yang tanpa sadar ditawarkan. Sebaliknya, ia justru menjadi pondasi dalam menguatkan argumen logis yang tampil dipermukaan.
Banyak muslim Indonesia pada tahun 1930-an menolak gagasan nasionalis, tapi 10 tahun kemudian menerimanya. Sementara pada tahun 1950-an dari mereka banyak menuntut pendirian negara islam, namun 20 tahun kemudian mereka menolaknya. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dengan keras mereka menolak skularisme, namun 30 tahun kemudian mulai menerimanya. Dapat ditemui pula pada masa ini semakin banyak kelompok muslim yang terbuka dengan berbagai konsep seperti demokrasi, pluralisme, dan hak-hak asasi manusia.
Fakta lain sikap religius-politik muslim di indonesia dari masa ke masa pasca kemerdekaan dapat ditilik dari hasil pemilihan umum yang telah berlangsung pada tahun 1955, 1999, 2004, 2009. Dalam perspektif historis, muslim indonesia secara politik menjadi lebih pragmatis dan rasional. Jelas, tiga pemilu terakhir politik islam gagal memperbaiki rapor yang mencapai 43% pada pemilu pertama. Dalam pemulit selanjutnya, partai-partai islam hanya meraih suara kurang dari 20% dari total suara yang diperebutkan.
Secara politis, kekalahan politik tersebut memang tidak lepas dari pengaruh politik yang dimainkan oleh rezim Soeharto yang cukup represif dalam memimpin. Luthfi Assyaukanie menyebutkan adanya pengaruh besar intelektual muslim Indonesia yang secara perlahan mulai menyerap dan menerima modernitas sebagai bagian dari runutan hidup yang tidak dapat dihindari. Argumen-argumen Islam yang dikembangkan oleh forum-forum intelektual, publikasi-publikasi, dan lingkungan akademis memainkan peran cukup besar. Argumen mengenai isu politik akan tersingkir bila argumen baru muncul dan dianggap lebih cocok dan logis. Benar apa yang dikatakan Neta Crawford bahwa argumen adalah komponen nyata dalam perubahan sosial dan politik yang perannya sama penting dengan kekuatan meliter.
Buku Ideologi Islam dan Utopia ini dengan rinci memaparkan tiga bentuk negara demokrasi yang dinilai cukup representatif untuk mewakili corak pemikiran intelektual muslim Indonesia pasca kemerdekaan hingga sekarang dalam mengkonstruk ideologi Indonesia ke dalam tiga perkara, yakni: Negara Demokrasi Islam, Negara Demokrasi Agama, dan Negara Demokrasi liberal.
Pertama, Negara Demokrasi Islam. Upaya pendirian Negara Demokrasi Islam berawal dari keputusan kontoversial PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Idonesia) yang menghapus formula-formula Islam. Keputusan tersebut memicu muslim Indonesia untuk mewujudkan model politik islam yang dianggap mulia. Mereka meyakini demokrasi tidak berbeda dengan rumusan islam tentang negara. Mekipun demokrasi dalam makna modern tidak akan pernah ditemui dalam tradisi islam klasik, pada hakikatnya, merupakan salah satu pilar dari empat dasar negara islam disamping kewajiban (amanah), keadilan dan ketuhanan. Inilah sekilas tawaran yang dinilai cukup layak menjadi daya jual konsep-konsep yang diusung model pertama.
Kedua, Negara Demokrasi Agama. Dalam Negara Demokrasi Agama, model pemikiran terlihat semakin terbuka dan mulai menerima prodak yang ditawarkan era modern. Mereka mulai menghilangkan sifat curiga terhadap agama lain dan lebih bertekat menjalani hidup yang baru dengan menerima pemikiran liberal agama dalam masyarakat yang multireligius. Banyaknya kalangan santri yang melanjutkan pendidikan di universitas barat mungkin menjadi faktor utama ihwal tersebut. Di dalam keadaan seperti ini, banyak pula generasi baru muslim yang kurang menaruh perhatian terhadap isu-isu lama, tentang perpecahan antara Ortodoksi dan Modernisme atau tentang kesulitan hidup dalam sebuah masyarakat yang beragam (hal. 127).
Model yang banyak disokong pemimpin muslim yang bekerja sama dengan Soeharto ini mempunyai dasar pijak: penerimaan terhadap Pancasila. Keprihatinan Soeharto mengkonsolidasikan unsur-unsur kebangsaan yang terfragmen secara ideologis menjadi alasan utama penerimaan pancasila. Dengan pancasila, mereka meyakini bahwa masyarakat akan menjadi “religius” sebab dalam pancasila mengandung seluruh aspirasi rakyat. Namun, walaupun diakui tidak lepas dari kepentingan pragmatis Soeharto. Model ini adalah bagian konstruksi teoritis oleh Muslim berdasarkan relitas yang mereka hadapi.
Ketiga, Negara Demokrasi Liberal. Model ini berangkat dari fondasi sosiologis bahwa Indosesia adalah negeri pluralis, sehingga upaya untuk menciptakan integeritas sosial haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip pluralisme(hal. 181). Robet Nozick, pemikir gagasan negara minimal dalam filsafat politik barat percaya bahwa semakin sedikit campur negara dalam urusan masyarakat, semakin baik pula fungsi negara itu. Barangkali karena alasan inilah, pendukung model ini mengkritik posisi hegemonik negara terhadap aktivitas religius masyarakat dan secara radikal mencoba menghadirkan format hubungan agama dan negara.
Lahirnya model ini merupakan respon terhadap berbagai problematika ihwal hubungan agama dan negara yang mengkritik posisi hegemonik negara atas aktivitas religius masyarakat yang yang ada pada model perma dan kedua. Liberalisme ini dipelopori oleh beberapa pemikir islam seperti Nurcholis Madjid (1939-2005) dan Johan Efendi.
Menurut Luthfi Assyaukani, sejarah pemikian politik Islam di Indonesia adalah sejarah modernisasi dan kemajuan. Terbukti, lahirnya pemikiran liberal seperti pada model terakhir. Perubahan pemikiran tersebut mencerminkan kegelisahan muslim indonesia akan tergencatnya doktrin agama dalam masyarakat multireligius, sehingga mau tidak mau harus membentuk sistem politik islam yang selaras dengan perkembangan masa kini. Dengan kata lain, muslim di Indonesia mulai merindukan pemerintahaan ideal yang anti kekerasan.
Hanya saja dalam bab terakhir buku ini Lutfi menyayangkan, banyak studi tentang pemikiran Islam di Indoseia sangat menekankan ideologi politik tanpa pertimbangan cukup terhadap peran utopia. Berbagai argumen dan gagasan besar seperti demokrasi, pluralisme, dan liberalisme tidak bisa dipahami dengan tepat tanpa pengkajian konseptualisasi muslim akan pemerintahan. Inilah kritik dosen Filsafat politik Universitas Paramadina ini tehadap pemikiran muslim Indonsia dalam upaya membangun Ideologi negara. Akhirnya, negara ideal tak lebih sekedar bayang-bayang semu yang tidak mungkin terwujud, alias utopia belaka.

Miftahul Arifin, Peneliti Idea Studuies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang (Februari 2012)


Guru “Profesional” dalam Pendidikan Anti Korupsi


Oleh Miftahu Arifin
Google Photo
Lembaga pendidikan dipandang sebagai “lahan” strategis untuk mencegah lakon-lakon korupsi di masa mendatang. Apalagi setelah melihat Lembaga Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) belum mampu menghentikan prilaku korup elit pemerintah yang semakin lahap memakan uang rakyat. Dengan adanya pendidikan anti korupsi disekolah, siswa akan paham ihwal keburukan korupsi, dampaknya bagi masyarakat dan bagaimana cara menghindarinya. Disinilah, melalui pendidikan moral, prilaku siswa juga akan ditata dengan baik.

Wednesday 11 July 2012

KAMPUS PENCETAK MENTAL "TIKUS" ?



Oleh Miftahul Arifin
Dimuat Di Koran Wawasan (30/05/2012)

“Koruptor adalah orang-orang pintar. Mereka juga bisa dari anggota ICMI, anggota HMI, lulusan UI, UGM, dan lainnya. Tidak ada orang bodoh” demikian kontroversial marzuki Alie sontak mendapat kecaman dari berbagai pihak.

ANATOMI KEKERASAN PEREMPUAN


Oleh Miftahul Arifin


Dimuat di Koran wawasan, Rabu 13 Juni 2012



Ditengah banyaknya terobosan hukum yang berpotensi melindungi hak-hak perempuan, kekerasan masih kerap terjadi.  Perlakuan tak wajar sering kali menjadi kebiasaan buruk kaum lelaki. Dari sini, nasib perempuan tak ubahnya kucing, yang terkadang dielus dan terkadang pula dibuat mainan. Bahkan tak jarang kekerasan yang dialami kaum feminis berbuah pada kematian.
Sungguh ironis jika kaum lelaki yang menurut beberapa sumber, baik agama maupun penelitian, diberi kemampuan lebih di beberapa aspek semisal tenaga, belum tertransmisikan secara proporsional. Untuk melindungi perbuatannya itu, tak jarang doktrin agama dijadikan instrumen untuk membenarkan perbuatan mereka. Yang terakhir ini kerap dilakukan oleh mereka yang sudah mengarungi bahtera pernikahan. Padahal, Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya perbuatan itu, disadari atau tidak, adalah bukti rendah dan piciknya kaum lelaki.

Penyebab Kekerasan
Dalam menganalisa penyebab kekerasan seksual, Abdul Wahid dalam buku Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan menyebut ada tujuh sebab kekerasan perempuan. Pertama, adanya pengaruh perkembangan budaya. Kondisi masyarakat yang kurang menghargai etika berpakaian rapi dan menutup aurat mendorong terciptanya kekerasan.
Kedua, berkembangnya gaya hidup dan pergaulan lawan jenis yang bebas. Sehingga hubungan tanpa batas yang tidak mengedepankan etika menyebabkan Seduktif rape. Ketiga, rendahnya pengamalan terhadap norma-norma keagamaan. Nilai agama semakin terkikis. Bersamaan dengan itu, pola-pola relasi horizontal semakin cendrung menafikan peran agama.
Keempat, rendahnya tingkat kontrol masyarakat. Berbagai prilaku yang dianggap menyimpang, melanggar hukum, norma kurang mendapat respon dan pengawasan ketat dari unsur-unsur masyarakat. Akhirnya, peluang untuk melakukan tindakan tak terpuji semakin mendapat ruang yang lebih luas.
 Kelima, adanya putusan Hakim yang kurang adil. Misal, putusan yang cukup ringan pada pelaku kekerasan. Putusan ini akan mendorong oknum-oknum lain untuk berbuat keji. Ketakutan akan sangsi hokum akan berkurang sebab ringannya sangsi yang diterima.
Keenam, ke-tidak-mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu. Nafsu dibiarkan mengembara dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya. Ketujuh,  tingginya keinginan untuk melampiaskan balas dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
          Disisi lain, Stigma lemah bagi perempuan dibanding lelaki, tak pelak, juga mendorong timbulnya kekerasan. Seorang lelaki yang enggan mengindahkan tata nilai dan norma merasa memiliki kekuasaan untuk mewujudkan hasrat yang tengah membara. Akhirnya, pemaksaan menjadi terobosan utama ketika negosiasi gagal diwujudkan. Sehingga, kekerasan pun terjadi.
Sebenarnya ihwal kekerasan ini merupakan fenomena klasik. Kita tentu masih ingat, betapa kaum perempuan pada masa jahiliyah disiksa, bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Datangnya islam di muka bumi tak lain untuk membela persamaan derajat dan penghormatan yang tinggi bagi kaum wanita.
Kini, islam telah menyebar dan mengisi seluruh peradaban manusia. Maka satu konsekuensi yang seharusnya terjadi adalah enyahnya insiden-insiden dari kehidupan manusia. Apa lagi jika ditambah dengan semakin gencar  pembelaan terhadap perempuan yang digadang oleh berbagai pihak semisal Komnas Perempuan dan gerakan Feminisme. Kekerasan seharusnya telah menjadi sebuah history yang telah berlalu.
Namun, fakta dilapangan mempertontonkan, gencarnya pemebelaan itu berbanding lurus dengan kekerasan yang terjadi. Bahkan peran lembaga-lembaga itu nahas, tak membuahkan hasil yang maksimal. Kurva peningkatan kekerasan yang terjadi setiap tahun menjadi bukti kongkrit kurang maksimalnya fungsi lembaga anti kekerasan.
Data Legal Resourses Center Keadilan Jender dan HAM (LRC KJHM) menyebutkan kekerasan terhadap kaum wanita khususnya jawa tengah, periode 2010-2011, meningkat. Pada tahun 2010 kekerasan berjumlah 1.118 kasus, dan meningkat menjadi 1.280 kasus pada tahun 2011, 40 diantaranya meninggal. Selama periode Januari-Februari 2012 tercatat 322 kasus kekerasan (SM 09/03/2012).
Sementara, Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2011 yang tersebar di 33 provinsi menyebut ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2011. Jika diurai kekerasan yang terjadi 95.62 % terjadi di ranah domestik, 4,35% terjadi diranah publik dan 0,03% di ranah negara. Dalam ranah usia, rata rata mereka berumur 25-40 tahun. Sebanyak 87 kasus dialami perempuan dengan orientasi seksual, 4.335 kasus adalah kekerasan seksual diantaranya kekerasan diruang publik seperti pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual prostitusi dan pornografi yang berjumlah 2.937 kasus.

Terobosan Baru
 Seluruh masyarakat tentu menyadari betapa kondisi kaum hawa laiknya hewan piaraan yang di perlakukan secara tidak bebas dan dimanfaatkan bila diperlukan. Ibarat kata pepatah, “habis manis, sepah dibuang”. Bahkan sebagian mereka terus di intimidasi agar tak mau mengungkit apa yang terjadi pada pihak yang berwajib.
Jelas bahwa kekerasan terhadap kaum wanita merupakan tindak kriminal dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Amanat Undang-undang juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kenyamanan dan perlindungan hukum. Implikasinya, upaya perlidungan terhadap kaum perempuan itu, secara institusional mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah.
Saatnya pihak pemerintah menemukan trobosan baru sebagai langkah antisipatif meminimalisir kekerasan yang makin mengemuka belakangan ini. Lembaga anti kekerasan yang dibuat pemerintah bukan sekedar menerima laporan kemudian mengkalkulasi angka kekerasan yang terjadi setiap tahun. Berbenah diri dengan melakukan evaluasi secara continue mutlak diperlukan. Bahkan mereka dituntut terjun langsung dalam menindak lanjuti insiden buruk yang menimpa kaum hawa.
Bersamaan dengan itu juga, kaum perempuan harus berani bangkit, menolak kekerasan itu. Dalam bahasa Imminarti Fuad, Asdep perlindungan korban perdangan orang, perempuan harus “zoro tolerance” terhadap perlakuan kekerasan. Peringatan hari karti beberapa waktu lalu seharusnya menjadi sebuah iklim bahwa perempuan juga punya daya yang lebih disbanding kaum lelaki. Bukan sekedar rutinitas tahunan yang tidak memiliki efek berarti.
Selain itu, kesadaran masyarakat, khususnya kaum lelaki juga menjadi poin penting ihwal ini. Perlindungan terhadap perempuan adalah keniscayaan yang harus ditegakkan. Perempuan adalah perhiasan dunia yang harus dihargai, dilindungi dan dijunjung tinggi harkat dan martabatnya. Bukankah kita semua keluar dari “lubang” perempuan!

Miftahul Arifin, Pegiat Diros Putaka dan Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.