Pagi yang
berbeda. Matahari menyambut wajah Didit lebih pagi dari biasanya. Ada kesenangan
yang mungkin tiada mendua, bercampur gelisah, rindu dan rasa penasaran hingga
kantuk tak lagi melesat di matanya. Padahal, jam menunjuk angka tiga lebih lima
belas ketika Didit meninggalkan laptopnya menganga sendirian di atas meja, di
samping ranjang tadi malam.
“sampai
ketemu besok, sayang”
“Ia, sayang.
Aku sudah tidak sabar ingin menemuimu”
Percakapan
terakhir didit melalui aku facebook seolah membuat tuhan berbaik hati hingga kesenangan
seolah hanya ia yang merasakannya. Kelopak Didit nampak mengecil karena
terlambat tidur malam. Tetapi bisa dirasakan ada kebinaran di kedalaman hatinya.
Sebisa mungkin ia akan menyingkat waktu sehingga rencana pertemuan dengan Ninis
bisa dilakukan saat itu juga.
Namun, semua
itu tak lain hanya sekadar khayal yang tak bisa diwujud. Sebaliknya, perputaran
waktu makin melamban. Didit tak sabar ingin bertemu dengan sosok wanita cantik itu
dalam dunia yang sebenarnya. Tubuh Didit seratus enam puluh derajat lebih
lamban dari pikirannya. Taman, mall, pantai dan alun-alun telah disambanginya lebih
dulu ketika kakinya baru melangkah menuju kamar mandi. Beragam rencana lain bercampur bersama
kesenangan di pagi itu.
Usai dari
kamar mandi, layar handphone didit menyala. Diraihnya cepat-cepat handphone yang
tergeletak di ranjang. Satu pesan diterima dari ruhut.
“dit, aku,
Rifki, Sisa, dan Tanti mau kepantai nanti sore. Kamu ikut nggak. Sekalian kita
mau ngomong sesuatu sama kamu”
“sory bray,
nanti sre aku ada janji. Memangnya mau ngomong apa?”
“penting!
Pokoknya kamu harus ikut”
“tapi aku beneran
gk bisa hari ini”
“Memang,
acaramu seberapa penting dari dari kita2”
Didit
bimbang. Ada pertempuran dahsyat di benaknya, antara memilih sahabat yang
terkadang hanya bikin jengkel dan menemui Ninis, kekasihnya. Setelah beberapa
saat didit menemukan keputusan.
“Maaf bray, tapi
nanti sre aku gak bisa ikut. kalau perginya bsok sre ja gmn?”balas didit
kemudian setelah sesaat melepas pikir
Nanti sore
adalah rencana pertemuan awal didit dengan Ninis. Kekasih yang didapat dari
dunia maya beberapa bulan yang lalu. Didit tidak ingin melewatkan kesempatan
berharga itu. bagi didit, jalan-jalan di pantai akan lebih romantis jika didampingi
seorang kekasih. Jalan dengan teman-teman tak lebih menarik selain hanya
mengisi waktu luang ketika mumet dengan tugas-tugas kuliah.
Tak lama
kemudian handphone didit bergetar. Pesan dari ninis.
“sayang,
sory ya, kayaknya kita nggk bisa ketemuan nanti sore. Aku ada keperluan
mendadak”
Didit seketika
lemas. Rencana batal. Rasa kecewa dan kerinduan bercampur jadi satu setelah
pesan singkat dari ninis selasai dibacanya. Dipandanginya pesan di handphonenya
berkali-kali, berharap ia salah membaca, atau pesan itu bukan dari Ninis tetapi
dari teman yang lain.
“ada acara
apa say? Trus, kita ketemunya kapan,,”balas didit
Didit
terdiam. Wajahnya menyudut ke tembok di depannya.
Entah, apa yang telah bergelantungan difikirannya. Dalam waktu singkat handphonenya
kembali bergetar. Cepat-cepat matanya tertuju ke arah layar.
“Pesan
terkirim”
Didit merungut
menyaksikan kalimat itu nampang di handphonenya, mengganggu alur pikiran dan
perasaannya. Ia lupa kalau dua hari yang lalu ia mengaktifkan laporan
pengiriman setelah beberapa kali ia sempat sedikit kesal kepada Ninis. Ninis
tak membalas pesan dari didit yang sebenarnya belum sampai. Didit tidak ingin
kesalahfahaman yang telah berlalu itu terulang kembali.
“Besok ya,,”
“ya”
Hari khusus yang
dipersiapkan untuk Ninis tertunda. Ada perasaan kecewa, namun tidak sampai
membuat ia kesal. Hanya gangguan teknis. Persoalan kecil seperti ini hal biasa.
Didit paham itu.
Didit
berdiri. Ia berjalan menuju lemari pakaian. Air yang menempel punggungnya sudah
nampak mengering. Tak terasa kamar mandi telah berlalu begitu lama. Di depan
cermin yang menempel di daun pintu lemari, sekilas didit melihat tubuhnya yang
belum mengenakan baju. Ia kemudian berlalu dari kamar setelah beberapa saat
mengenakan jeans hitam dan kaos warna hijau.
Sambil
berjalan keluar rumah, didit mengirim pesan kepada ruhut.
“Ke pantai
mana bray, aku jadi ikut”
Tak ada
jawaban. Dari sebrang, dengan sedikit acuh, ruhut membaca pesan dari didit. Ada
perasaan kecewa. Seorang teman yang lebih mementingkan seorang wanita dari pada
temannya sendiri.
***
Sejak kematian
Menda, kekasihnya, Didit lebih akrab dengan sapaan si jombo. Begitu sulit ia
mendapatkan kekasih. Padahal teman wanita di kampusnya tidak cukup untuk
hitungan jari. Semuanya akrab dengan Didit.
Masalahnya, Didit
tidak bisa berkutik bila dihadapkan dengan perasaan. Ia seolah kehilangan
bahasa untuk sekadar bercakap bila bertemu dengan wanita yang disukainya. Hanya
getaran dahsyat dari kedalaman hati yang sesekali membuat wajah memerah dan
salah tingkah. Usaha memikat hati wanita selalu gagal karena alur komunikasi terganggu.
Menda adalah
masa lalu yang hanya tinggal kenang. Ia meninggal karena kecelakaan. padahal, hubungan
mereka baru berjalan lima bulan sebelum truk menghantam motornya ketika perjalanan
menuju kampus. Didit mendapatkan Menda karena bantuan salah seorang temannya. Kebetulan saja si wanita itu juga punya
perasaan yang sama kepada Didit.
Setelah itu,
tidak jarang teman-temannya melempar ejek dan gurauan lantaran didit tak punya
pacar. Menganggapnya bencong, homo, dan kata jelek lainnya. Namun, dihadapinya
ucapan itu dengan rasa bangga walau sebenarnya menyimpan sengatan yang dahsyat
di kalbunya. Kalau tidak bisa mengkondisikan diri, bisa saja Ia mengantarkan
genggaman tangan ke muka kawannya itu.
“wanita
hanya bikin repot. Mending jomblo, bisa bebas tanpa harus terikat”belanya di suatu
hari.
Sementara di
kedalaman perasaan, Didit memikirkan masalahnya sendirian. Buku panduan “cara
cerdas memikat hati wanita” tak cukup tangguh mengubah perasaan rikuhnya di
hadapan wanita pujaan hati. Mungkin baginya, wanita itu adalah bidari yang tak
bisa diterjemahkan dalam bahasa apapun.
Waktu
berlalu, didit mulai mengerutkan jidad. Merasa tak tahan dengan kejombloan dan
terpaan temannya itu, Ia memutar otaknya dua ratus enam puluh derajat; mencari
solosi untuk masalah psikis yang ia hadapi.
Facebook.
Didit punya ide melalui facebook. Ya, media sosial modern yang bernama facebook
ternyata menjadi alat pembelajaran didit. Dengan facebook, Didit ingin belajar mencuri
hati wanita. Karena kata orang, tak butuh bertemu hingga wanita bisa terpikat. Ia
hanya butuh kelenturan lidah dalam mengolah kata. wanita bisa didapat melalui rayuan
gombal. Seorang wanita bisa luluh karena kata manis para lelaki. Ahay! Didit
optimis.
“Hai cewek,,,”
Didit mulai
beraksi. Hari tanpa facebook bagai pagi hari tanpa sarapan. seperti kopi tanpak
kretek. Sudah tanpak barisan nama-nama wanita di daftar chatnya. Ada
yang sedang aktif ditandai warna hijau. Ada pula yang hanya putih polos. Didit ingin
menjajakinya satu persatu.
“L..” balas
akun facebook yang bernama Nana kemudian. Didit kaget, sedikit kesal.
Ditutupnya langsung kotak komunikasi dengan cewek itu.
Kepada akun
facebook yang bernama Tantri didit mengirim pesan. “Lagi sibuk apa neng?”
Didit diam
menunggu jawaban. Tak lama, ada tanda-tanda tantri merespon. Nampak jelas
dibagian kanan kotak chat, “tantri sedang mengetik”. Mangsa masuk perangkap.
Pikirnya.
“Ol
ajjha”balas tantri singkat.
“Ol dimana?”
“di kamar,
masak di WC”
Jidad Didit mengkerut,
ia kembali memutar otak, mencoba memahami karakter si cewek sembari mencari-cari
balasan yang tepat.
“kok
galak banget si neng?”balasnya kemudian.
“masalah
buat lho? LLL”
Ah, dua
cewek raib, gagal masuk perangkap. Didit memilih menutup obrolannya. Ada
perasaan tak nyaman berbincang dengan cewek yang menurutnya galak.
Tetapi Didit
tidak khawatir. Masih banyak cewek yang belum dicoba di kotak obrolan. Kalau
pun semuanya gagal, masih ada lebih dari seratus, seribu bahkan berjuta-juta.
Ia bisa menambahkan sebagai teman sebanyak kouta yang diinginkan.
Dilakukannya
hal itu terus menerus. Betulah kegitan Didit setiap hari, di samping mendapat
terpaan kawannya yang sesekali membikin jengkel.
Pada suatu
ketika didit telah akrab dengan cewek yang yang bernama Ninis. akun facebooknya
bernama “Ninis caem”. Informasi di dinding, cewek itu sekampus dengan Didit.
Hari
berganti hari, obrolan dengan Ninis berlangsung begitu lama. Mulai dari
perkenalan, gurauan, ejek-ejekan hingga akhirnya merambah perasaan. Mulai dari
tukaran nomer, sms an hingga terfon-telfonan. Ada rencana untuk saling bertemu
di dunia nyata.
“benar kata
buku, cewek itu mudah didapat asal punya lidah yang lentur”gumamnya
Dengan Ninis
didit merasa dekat. Yang semula berniat untuk latihan, Didit terbawa
kesungguhan. Ditambah lagi ayunya cewek itu. Tak ada kebohongan kamera pada
foto profilnya. Sekalipun ada, paling hanya sedikit. Itu pun tidak akan
mengurangi kecantikannya. Ehem.
***
Celana jeans
hitam dengan kaos hijau. Didit tampak bersemangat. Akhirnya sampai juga waktu
yang dinantikan. Pertemuannya yang sempat tertunda itu akan segera terlaksana.
Keceriaan tampak diwajahnya yang manis. “Jomblo akan benar-benar
berakhir”katanya sambil memoles-moles rambutnya dengan minyak. Mohak.
diperhatikannya
dengan teliti wajah dan penampilannya, memastikan tidak ada yang kurang
sedikitpun. Di depan cermin ia berdiri. Jurus ketampanan ia kerahkan semuanya.
Ia berlalu meninggalkan kamar menuju halaman rumah.
Tak lama, ia
menaiki angkot jurusan kota. Pertemuan mereka tidak jadi di pantai. Tetapi, di
alun-alun. Alun-alun lebih indah diwaktu sore. Remang-remang lampu ketika
sampai malam hari akan menambah kehangan sepasang kekasih yang baru ingin
mencurahkan asmara. Mereka akan bertemu, melepas kerinduan, menghilangkan
penasaran, menelan kegelisahan dan sebagainya. Pokoknya mereka merencanakan
sebuah kepuasan satu sama lain.
Setibanya
alun-alun, didit menuju ke sebuah kursi di bawah pohon cemara. Didit meratakan
pandangannya ke seluruh penjuru alun-alun. Ada banyak orang di setiap sudutnya.
Mereka berpasangan, menambah perjalanan waktu semakin melambat. didit mulai tak
sabar. Ada perasaan cemas dan degdegan.
Belum ada
tanda-tanda kedatangan ninis setelah beberapa menit berlalu. Mungkin ninis
telat. Didit masih menunggu. Ia terus menunggu.
Hingga senja
diganti malam, ninis tetap tidak kelihatan. Didit cemas. Ia kemudian menghubunginya
melalui seluler. Berkali tidak ada jawaban. Koneksi terakhir, Ninis me-reject-nya.
Ah sial! Didit
kecewa. Badannya lemas tanpa semangat, hatinya remuk, perasaannya hancur. Ia
kemudian pulang menyusuri alun-alun yang mulai menyepi. Sesepi hatinya malam
itu.
***
Sebelumnya.
Di pantai,
di sebuah meja, di bawah pohon, Ruhut, Rifki, sisa dan tanti menikmati pemandangan pantai
bersama. Mereka tengah menikmati liburan pekan ini. Dari kejauhan mereka tanpak
bercakap satu sama lain.
Salah satu
perbincangan mereka tak lain tentang Didit. Mereka sebenarnya merasa kasihan
sama didit. Ajakan ruhut ke pantai dua hari yang lalu tak lain untuk mengatakan
yang sebenarnya bahwa Ninis tak lain adalah Sisa, temannya sendiri.
Namun kecewa
mereka rasakan setelah Didit lebih mementingkan wanita dari pada sahabatnya.
Mereka kemudian sepakat mengibuli didit sampai pada titik klimaks.
No comments:
Post a Comment