(Dimuat di Koran wawasan, rabu 14 juni 2012)
Ditengah banyaknya terobosan hukum yang berpotensi melindungi hak-hak perempuan, kekerasan masih kerap terjadi. Perlakuan tak wajar sering kali menjadi kebiasaan buruk kaum lelaki. Dari sini, nasib perempuan tak ubahnya kucing, yang terkadang dielus dan terkadang pula dibuat mainan. Bahkan tak jarang kekerasan yang dialami kaum feminis berbuah
pada kematian.
Ditengah banyaknya terobosan hukum yang berpotensi melindungi hak-hak perempuan, kekerasan masih kerap terjadi. Perlakuan tak wajar sering kali menjadi kebiasaan buruk kaum lelaki. Dari sini, nasib perempuan tak ubahnya kucing, yang terkadang dielus dan terkadang pula dibuat mainan. Bahkan tak jarang kekerasan yang dialami kaum feminis berbuah
pada kematian.
Sungguh
ironis jika kaum lelaki yang menurut beberapa sumber, baik agama maupun
penelitian, diberi kemampuan lebih di beberapa aspek
semisal tenaga, belum tertransmisikan
secara proporsional. Untuk melindungi perbuatannya itu, tak jarang doktrin agama
dijadikan instrumen untuk membenarkan
perbuatan mereka. Yang terakhir ini kerap dilakukan oleh mereka yang sudah
mengarungi bahtera pernikahan. Padahal, Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya
perbuatan itu, disadari atau tidak, adalah bukti rendah dan piciknya kaum lelaki.
Penyebab
Kekerasan
Dalam
menganalisa penyebab kekerasan seksual, Abdul Wahid dalam buku Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan menyebut ada tujuh
sebab kekerasan perempuan. Pertama, adanya pengaruh perkembangan budaya. Kondisi
masyarakat yang kurang menghargai etika berpakaian rapi dan menutup aurat
mendorong terciptanya kekerasan.
Kedua, berkembangnya
gaya hidup dan pergaulan lawan jenis yang bebas. Sehingga hubungan tanpa batas
yang tidak mengedepankan etika menyebabkan Seduktif
rape. Ketiga, rendahnya pengamalan terhadap norma-norma keagamaan. Nilai agama
semakin terkikis. Bersamaan dengan itu, pola-pola relasi horizontal semakin cendrung menafikan peran agama.
Keempat, rendahnya
tingkat kontrol masyarakat. Berbagai prilaku yang dianggap menyimpang,
melanggar hukum, norma kurang mendapat respon dan pengawasan ketat dari
unsur-unsur masyarakat. Akhirnya, peluang untuk melakukan tindakan tak terpuji
semakin mendapat ruang yang lebih luas.
Kelima, adanya putusan Hakim yang kurang adil.
Misal, putusan yang cukup ringan pada pelaku kekerasan. Putusan ini akan
mendorong oknum-oknum lain untuk berbuat keji. Ketakutan akan sangsi hokum akan
berkurang sebab ringannya sangsi yang diterima.
Keenam, ke-tidak-mampuan pelaku untuk
mengendalikan emosi dan nafsu. Nafsu dibiarkan mengembara dan menuntut untuk
dicarikan kompensasi pemuasnya. Ketujuh, tingginya keinginan untuk melampiaskan balas
dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan
merugikan.
Disisi
lain, Stigma lemah bagi perempuan
dibanding lelaki, tak pelak, juga mendorong timbulnya kekerasan. Seorang lelaki
yang enggan mengindahkan tata nilai dan norma merasa memiliki kekuasaan untuk
mewujudkan hasrat yang tengah membara. Akhirnya, pemaksaan menjadi terobosan
utama ketika negosiasi gagal diwujudkan. Sehingga, kekerasan pun terjadi.
Sebenarnya
ihwal kekerasan ini merupakan fenomena klasik. Kita tentu masih ingat, betapa
kaum perempuan pada masa jahiliyah disiksa, bahkan ada yang dikubur
hidup-hidup. Datangnya islam di muka bumi tak lain untuk membela persamaan
derajat dan penghormatan yang tinggi bagi kaum wanita.
Kini, islam
telah menyebar dan mengisi seluruh peradaban manusia. Maka satu konsekuensi
yang seharusnya terjadi adalah enyahnya insiden-insiden dari kehidupan manusia.
Apa lagi jika ditambah dengan semakin gencar pembelaan terhadap perempuan yang digadang oleh
berbagai pihak semisal Komnas Perempuan dan gerakan Feminisme. Kekerasan seharusnya
telah menjadi sebuah history yang telah berlalu.
Namun, fakta
dilapangan mempertontonkan, gencarnya pemebelaan itu berbanding lurus dengan kekerasan
yang terjadi. Bahkan peran lembaga-lembaga itu nahas, tak membuahkan hasil yang
maksimal. Kurva peningkatan kekerasan yang terjadi setiap tahun menjadi bukti
kongkrit kurang maksimalnya fungsi lembaga anti kekerasan.
Data Legal Resourses Center Keadilan
Jender dan HAM (LRC KJHM) menyebutkan kekerasan terhadap kaum wanita khususnya jawa tengah, periode 2010-2011, meningkat. Pada tahun 2010
kekerasan berjumlah 1.118 kasus, dan meningkat menjadi 1.280 kasus pada
tahun 2011, 40
diantaranya meninggal. Selama periode Januari-Februari 2012 tercatat 322 kasus kekerasan (SM
09/03/2012).
Sementara,
Catatan
Akhir Tahun (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2011 yang tersebar di 33 provinsi
menyebut ada 119.107
kasus kekerasan terhadap perempuan
sepanjang tahun 2011. Jika diurai kekerasan yang terjadi 95.62 % terjadi di
ranah domestik, 4,35% terjadi diranah publik dan 0,03% di ranah negara. Dalam
ranah usia, rata rata mereka berumur 25-40 tahun. Sebanyak 87 kasus dialami
perempuan dengan orientasi seksual, 4.335 kasus adalah kekerasan seksual
diantaranya kekerasan diruang publik seperti pencabulan, perkosaan, pelecehan
seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual prostitusi dan pornografi yang
berjumlah 2.937 kasus.
Terobosan Baru
Seluruh masyarakat tentu menyadari betapa kondisi
kaum hawa laiknya hewan piaraan yang di perlakukan secara tidak bebas dan
dimanfaatkan bila diperlukan. Ibarat kata pepatah, “habis manis, sepah dibuang”.
Bahkan sebagian mereka terus di intimidasi agar tak mau mengungkit apa yang
terjadi pada pihak yang berwajib.
Jelas
bahwa kekerasan terhadap kaum wanita merupakan tindak kriminal dan pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Amanat Undang-undang juga menyebutkan bahwa
setiap orang berhak mendapat kenyamanan dan perlindungan hukum. Implikasinya,
upaya perlidungan terhadap kaum perempuan itu, secara institusional mutlak
menjadi tanggung jawab pemerintah.
Saatnya pihak
pemerintah menemukan trobosan baru sebagai langkah antisipatif meminimalisir
kekerasan yang makin mengemuka belakangan ini. Lembaga anti kekerasan yang
dibuat pemerintah bukan sekedar menerima laporan kemudian mengkalkulasi angka kekerasan
yang terjadi setiap tahun. Berbenah diri dengan melakukan evaluasi secara
continue mutlak diperlukan. Bahkan mereka dituntut terjun langsung dalam
menindak lanjuti insiden buruk yang menimpa kaum hawa.
Bersamaan
dengan itu juga, kaum perempuan harus berani bangkit, menolak kekerasan itu. Dalam
bahasa Imminarti Fuad, Asdep perlindungan korban perdangan orang, perempuan harus
“zoro tolerance” terhadap perlakuan kekerasan. Peringatan hari karti beberapa
waktu lalu seharusnya menjadi sebuah iklim bahwa perempuan juga punya daya yang
lebih disbanding kaum lelaki. Bukan sekedar rutinitas tahunan yang tidak
memiliki efek berarti.
Selain
itu, kesadaran masyarakat, khususnya kaum lelaki juga menjadi poin penting
ihwal ini. Perlindungan terhadap perempuan adalah keniscayaan yang harus ditegakkan.
Perempuan adalah perhiasan dunia yang harus dihargai, dilindungi dan dijunjung
tinggi harkat dan martabatnya. Bukankah kita semua keluar dari “lubang”
perempuan!
Miftahul
Arifin, Pegiat
Diros Putaka dan Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.
No comments:
Post a Comment