Thursday 22 January 2015

Siaran Televisi dan Sikap KPI

google.com
Oleh Miftahul Arifin
Tayang di Koran Wawasan, 20 Januari 2015

Sikap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang beberapa film yang berpotensi merusak moral masyarakat beberapa waktu lalu merupakan tindakan yang patut diajukan jempol. Hal ini mengingat, bahwa televisi memiliki pengaruh besar terhadap pola, sikap dan tingkah laku penontonya (baca: masyarakat). Dari siaran televisi masyarakat akan meniru adegan yang dianggap menarik. Ketertarikan berlebihan akan mebutakan mata hati, sehingga tidak bisa mebedakan yang mana yang pantas ditiru atau tidak. Bagi anak-anak pengaruh televisi lebih besar dari pada orang dewasa.

Sejak 2014 lalu, KPI telah melarang beberapa tayangan televisi termasuk film, film anak khususnya, karena dianggap dapat memicu tindak kekerasan dan merusak moral. Tindakan tersebut sebagai bentuk kepedulian pihak pemerintah demi terwujudnya masyarakat bermoral dan cerdas dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang cerdas pula, terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan politik industri perfilman yang terjadi di balik layar. Sebab, beberapa tayangan televisi yang dapat merusak moral generasi muda masih lanjut tayang hingga kini.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran pasal 32 ayai 1 menetapkan bahwa  isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Undang-udang tersebut melarang siaran berupa fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Larangan itu tercantum pada ayat 5 dalam pasal yang sama.

Larangan Tayang
Karena dianggap tidak melanggar undang-undang, setidaknya telah ada lima film kartun anak dilarang tayang. Lima film itu Tom and Jerry, Crayon Shin-chan, Little Krishna, Spongebob Squarepants dan Bima Sakti (Chhota Bheem). Jika diklasifikasikan setidaknya ada tiga alasan pelarangan itu. Pertama, terdapat unsur kekerasan seperti pada film Tom and Jerry,  Spongebob Squarepants dan Little Krishna. Kedua, ada unsur pornografi seperti yang terdapat pada film Crayon Shin-chan. Sedangkan film Bima Sakti (Chhota Bheem) dianggap mengandung unsur filosofi yang kurang tepat dan berbahaya jika dilihat anak.

Jika diamati, ketentuan dalam undang-undang tersebut bersifat menyeluruh. Artinya, sekalipun satu film terdapat filosofi yang baik, akan tepi menyalahi satu ketentuan maka dianggap tidak layak. Film Spongebob Squarepants termasuk film yang mengandung banyak kata bijak dalam komunikasinya. Namun karena terdapat unsur kekerasan dalam tingkah laku yang diperankan aktornya, akhirnya film itu dilarang. Begitu juga dengn Tom and Jerry. Kecerdikan Jerry yang selalu mengalahkan Tom mungkin dapat menginspirasi sebagian tentang pentingnya sebuah kecerdikan dan siasat dalam hidup. Film itu akhirnya juga dilarang karena jamak praktek kekerasan di dalamnya. Kini, film-film itu harus mangkrak di “gudang” kantor pertelevisian.

Anak merupakan calon penerus bangsa di kehidupan mendatang. Oleh karenanya, mulai sejak dini mereka harus selalu diarahkan pada hal yang positif. Termasuk yang mereka tonton harus bersifat mencerdaskan. Membiarkan menonton film yang disenangi namun mengandung hal negatif merupakan tindakan yang tidak baik mengingat seorang anak memiliki sikap yang cendrung meniru. Di usia yang masih polos, mereka belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang positif dan negatif, dan yang mana boleh dilakukan atau ditinggalkan. Membiasakan anak menonton film yang berbau kekerasan atau porno akan menyebabkan mereka berlaku keras dan porno, hari ini, besok atau kelak.

Media Komunikasi Positif
Secara utuh setiap film mesti mesti memiliki nilai filosofis yang baik. Film merupakan hasil dari konstruksi pikiran lewat cerita atau narasi dari realitas lingkungan sosial si pembuat film. Lewat alur cerita yang disajikan, kecerdasan si pembuat dapat terlihat.  Namun, yang paling penting, nilai-nilai positif  dalam sebuah harus lebih nampak dari pada kemungkinan adanya nilai negatif yang tidak diduga. Saya yakin, Stephen Hellenburg punya maksud baik ketika membuat Spongebob Squarepants jika dilihat dari komunikasi aktornya di dalamnya yang selalu mengandung kata-kata bijak. Hanya saja, suguhan unsur kekerasan lewat lakon para aktor dinilai lebih berpengaruh hingga akhinya dianggap melanggar undang-undang penyiaran di Indonesia.

Sebagai media komunikasi, setidaknya tayangan televisi tidak boleh keluar dari tiga hal: pertama, media informasi. Film yang bermuatan sejarah akan membantu masyarakat untuk memahami sejarah tanpa harus membaca buku. Film Soekarno, misalnya, akan membantu masyarakat mengetahui tentang sejarah Indonesia terutama mendekati detik-detik kemerdekaan sampai perumusan  Negara Kesatuan Republik Indonesia (RKNI).

Kedua, media pendidikan. Banyak pengetahuan yang bisa didapat dari film. Selain menambah ilmu film yang bermuatan pendidikan akan menjadi inspirasi bagi masyarakat. Sebut saja film Laskar Pelangi atau Negeri Lima Menara. Kedua film itu mengandung muatan pendidikan yang banyak dan dapat menginspirasi dan juga menyadarkan masyarakat akan pentingnya sebuah pengetahuan.  Ketiga, media hiburan. Situasi sosial yang kerap membuat masyarakat mengernyitkan dahi dan geleng kepala dapat direfresh dengan tayangan-tayangan komedi. Komedi yang cerdas akan mendidik masyarakat menjadi cerdas. Sebab, seorang komedian perlu memutar otak untuk bisa menghibur. Dari sana kita akan belajar pentingnya memaksimalkan fungsi pikiran.

Kepekaan KPI dalam menimbang layak dan tidaknya tayangan televisi di Indonesia diperlukan untuk membantu perbaikan moralitas di masyarakat khususnya para remaja. mereka yang bermoral dapat dinilai dari cara mereka bersikap dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu, mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sebagaimana diketahui, bangsa Indonesia memiliki karakter yang khas: berketuhanan, berprikemanusiaan, adil, gotong royong, toleransi, santun dan tengga rasa satu sama lain. Inilah tolok ukur kita dapat dianggap bangsa yang baik selain tetap menjaga keutuhan NKRI.

Bagaimana denga film sinetron yang hampir memenuhi seluruh jagad televisi setiap hari? Jangan-jangan cara hidup kalangan remaja masa kini yang kerap menyimpang dari agama moral sepertinya merupakan hasil adopsi dan imitasi dari sinetron. Bagaimana KPI?


Miftahul Arifin, pecinta film tinggal di kampoeng IDEA Studies UIN Walisongo Semarang

No comments: