Tayang di Koran Wawasan, 20 Januari 2015
Sikap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang beberapa
film yang berpotensi merusak moral masyarakat beberapa waktu lalu merupakan
tindakan yang patut diajukan jempol. Hal ini mengingat, bahwa televisi memiliki
pengaruh besar terhadap pola, sikap dan tingkah laku penontonya (baca:
masyarakat). Dari siaran televisi masyarakat akan meniru adegan yang dianggap
menarik. Ketertarikan berlebihan akan mebutakan mata hati, sehingga tidak bisa
mebedakan yang mana yang pantas ditiru atau tidak. Bagi anak-anak pengaruh
televisi lebih besar dari pada orang dewasa.
Sejak 2014 lalu, KPI telah melarang beberapa tayangan televisi termasuk film, film anak khususnya, karena dianggap dapat memicu tindak kekerasan dan merusak moral. Tindakan tersebut sebagai bentuk kepedulian pihak pemerintah demi terwujudnya masyarakat bermoral dan cerdas dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang cerdas pula, terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan politik industri perfilman yang terjadi di balik layar. Sebab, beberapa tayangan televisi yang dapat merusak moral generasi muda masih lanjut tayang hingga kini.
Sejak 2014 lalu, KPI telah melarang beberapa tayangan televisi termasuk film, film anak khususnya, karena dianggap dapat memicu tindak kekerasan dan merusak moral. Tindakan tersebut sebagai bentuk kepedulian pihak pemerintah demi terwujudnya masyarakat bermoral dan cerdas dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang cerdas pula, terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan politik industri perfilman yang terjadi di balik layar. Sebab, beberapa tayangan televisi yang dapat merusak moral generasi muda masih lanjut tayang hingga kini.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran pasal 32 ayai 1 menetapkan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi,
pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak,
moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta
mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Undang-udang tersebut melarang siaran berupa fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan
suku, agama, ras, dan antar golongan. Larangan itu tercantum
pada ayat 5 dalam pasal yang sama.
Larangan Tayang
Karena dianggap tidak melanggar undang-undang, setidaknya telah ada lima film kartun anak dilarang tayang. Lima film itu Tom and Jerry, Crayon Shin-chan, Little Krishna, Spongebob Squarepants dan Bima Sakti (Chhota Bheem). Jika diklasifikasikan setidaknya ada tiga alasan pelarangan itu. Pertama, terdapat unsur kekerasan seperti pada film Tom and Jerry, Spongebob Squarepants dan Little Krishna. Kedua, ada unsur pornografi seperti yang terdapat pada film Crayon Shin-chan. Sedangkan film Bima Sakti (Chhota Bheem) dianggap mengandung unsur filosofi yang kurang tepat dan berbahaya jika dilihat anak.
Karena dianggap tidak melanggar undang-undang, setidaknya telah ada lima film kartun anak dilarang tayang. Lima film itu Tom and Jerry, Crayon Shin-chan, Little Krishna, Spongebob Squarepants dan Bima Sakti (Chhota Bheem). Jika diklasifikasikan setidaknya ada tiga alasan pelarangan itu. Pertama, terdapat unsur kekerasan seperti pada film Tom and Jerry, Spongebob Squarepants dan Little Krishna. Kedua, ada unsur pornografi seperti yang terdapat pada film Crayon Shin-chan. Sedangkan film Bima Sakti (Chhota Bheem) dianggap mengandung unsur filosofi yang kurang tepat dan berbahaya jika dilihat anak.
Jika diamati, ketentuan dalam undang-undang tersebut
bersifat menyeluruh. Artinya, sekalipun satu film terdapat filosofi yang baik,
akan tepi menyalahi satu ketentuan maka dianggap tidak layak. Film Spongebob
Squarepants termasuk film yang mengandung banyak kata bijak dalam
komunikasinya. Namun karena terdapat unsur kekerasan dalam tingkah laku yang
diperankan aktornya, akhirnya film itu dilarang. Begitu juga dengn Tom and
Jerry. Kecerdikan Jerry yang selalu mengalahkan Tom mungkin dapat
menginspirasi sebagian tentang pentingnya sebuah kecerdikan dan siasat dalam
hidup. Film itu akhirnya juga dilarang karena jamak praktek kekerasan di
dalamnya. Kini, film-film itu harus mangkrak di “gudang” kantor pertelevisian.
Anak merupakan
calon penerus bangsa di kehidupan mendatang. Oleh karenanya, mulai sejak dini mereka
harus selalu diarahkan pada hal yang positif. Termasuk yang mereka tonton harus
bersifat mencerdaskan. Membiarkan menonton film yang disenangi namun mengandung
hal negatif merupakan tindakan yang tidak baik mengingat seorang anak memiliki
sikap yang cendrung meniru. Di usia yang masih polos, mereka belum bisa
membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang positif dan negatif, dan yang mana
boleh dilakukan atau ditinggalkan. Membiasakan anak menonton film yang berbau
kekerasan atau porno akan menyebabkan mereka berlaku keras dan porno, hari ini,
besok atau kelak.
Media Komunikasi Positif
Secara utuh setiap film mesti mesti memiliki
nilai filosofis yang baik. Film merupakan hasil dari konstruksi pikiran lewat
cerita atau narasi dari realitas lingkungan sosial si pembuat film. Lewat alur
cerita yang disajikan, kecerdasan si pembuat dapat terlihat. Namun, yang paling penting, nilai-nilai
positif dalam sebuah harus lebih nampak
dari pada kemungkinan adanya nilai negatif yang tidak diduga. Saya yakin, Stephen
Hellenburg punya maksud baik ketika membuat Spongebob Squarepants jika
dilihat dari komunikasi aktornya di dalamnya yang selalu mengandung kata-kata
bijak. Hanya saja, suguhan unsur kekerasan lewat lakon para aktor dinilai lebih
berpengaruh hingga akhinya dianggap melanggar undang-undang penyiaran di
Indonesia.
Sebagai media komunikasi, setidaknya tayangan televisi tidak
boleh keluar dari tiga hal: pertama, media informasi. Film yang
bermuatan sejarah akan membantu masyarakat untuk memahami sejarah tanpa harus
membaca buku. Film Soekarno, misalnya, akan membantu masyarakat
mengetahui tentang sejarah Indonesia terutama mendekati detik-detik kemerdekaan
sampai perumusan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (RKNI).
Kedua, media pendidikan. Banyak
pengetahuan yang bisa didapat dari film. Selain menambah ilmu film yang
bermuatan pendidikan akan menjadi inspirasi bagi masyarakat. Sebut saja film Laskar
Pelangi atau Negeri Lima Menara. Kedua film itu mengandung muatan
pendidikan yang banyak dan dapat menginspirasi dan juga menyadarkan masyarakat
akan pentingnya sebuah pengetahuan. Ketiga,
media hiburan. Situasi sosial yang kerap membuat masyarakat mengernyitkan dahi
dan geleng kepala dapat direfresh dengan tayangan-tayangan komedi. Komedi
yang cerdas akan mendidik masyarakat menjadi cerdas. Sebab, seorang komedian
perlu memutar otak untuk bisa menghibur. Dari sana kita akan belajar pentingnya
memaksimalkan fungsi pikiran.
Kepekaan KPI dalam menimbang layak dan tidaknya tayangan
televisi di Indonesia diperlukan untuk membantu perbaikan moralitas di
masyarakat khususnya para remaja. mereka yang bermoral dapat dinilai dari cara
mereka bersikap dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu, mereka yang
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sebagaimana diketahui, bangsa
Indonesia memiliki karakter yang khas: berketuhanan, berprikemanusiaan, adil,
gotong royong, toleransi, santun dan tengga rasa satu sama lain. Inilah tolok
ukur kita dapat dianggap bangsa yang baik selain tetap menjaga keutuhan NKRI.
Bagaimana denga film sinetron yang hampir memenuhi seluruh jagad
televisi setiap hari? Jangan-jangan cara hidup kalangan remaja masa kini yang kerap
menyimpang dari agama moral sepertinya merupakan hasil adopsi dan imitasi
dari sinetron. Bagaimana KPI?
Miftahul Arifin,
pecinta film tinggal di kampoeng IDEA Studies UIN Walisongo Semarang
No comments:
Post a Comment