Google.com |
Oleh: Miftahul Arifin *)
Kasus
Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), beberapa saat setelah ia ditunjuk menjadi calon tunggal kepala
kepolisian Republik Indoensia (RI) berbuntut panjang, menjadikan situasi
pemerintahan kian memanas. Hingga kini dua lembaga besar negara, Polri dan KPK,
sudah tanpak terbuka saling menyerang satu sama lain. Banyak pihak mengklaim,
serangan terhadap KPK sebagai sebuah upaya pelemahan lembaga pemberantas
korupsi itu. Tidak adanya bukti yang cukup kuat, menjadikan lembaga lembaga
Polri berdalih bahwa “serangan” terhadap KPK murni urusan hukum yang memang
harus ditegakkan di negeri ini. Begitupun dengan KPK, ia seperti tokoh
protagonis dalam sebuah film yang mendapat pembelaan sekalipun salah satu
anggotanya juga ditetapkan sebagai tersangka.
Kini,
masyarakat menanti ketegasan presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi di
negeri ini untuk bertindak. Kita semua tentu berharap, keputusan yang diberikan
Jokowi adalah keputusan yang terbaik dan
memihak pada kepentingan rakyat. Bukan sebagai politisi yang memihak satu
kelompok tertentu untuk menguatkan.
Presiden
punya kewenangan ketika negara atau pemerintahan di dalamnya mengalami situasi
sulit dan tak kunjung terselesaikan. Kewenangan presiden adalah hak “istimewa”
yang dilindungi undang-undang. Sebagai mana disampaikan Mahfud MD dalam Hukum
dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Gama Media, 1993), hak prerogatif presiden
sebagai “hak istimewa” yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan sesuatu
tanpa meminta persetujuan lembaga lain.
Hak tersebut
bertujuan agar fungsi dan peran pemerintah direntang sedemikian luas sehingga
dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat membangun kesejahteraan
masyarakat. Maka, sekali lagi perlu ditegaskan di sini, kepentingan rakyat
harus didahulukan dari kepentingan yang lain.
Akar Masalah
Kalau
kita lihat, akar masalah dari perseteruan KPK dan Polri tidak dapat dipungkiri
merupakan buntut dari kebijakan Jokowi yang terkesan tergesa-gesa dalam
mengambil keputusan, mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala
kepolisian RI menggatikan Jenderal Sutarman yang akan pensiun pada Oktober mendatang.
Padahal, masih banyak waktu untuk lebih jeli dalam menilai layak atau tidak
seseorang untuk diajukan sebagai pimpinan lembaga negara. Kehati-hatian
presiden dalam meberikan keputusan adalah poin penting yang harus dicatat
setelah kejadian ini. Apalagi ketika dihadapkan pada situasi minimnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika keputusan yang benar bisa jadi
salah kerena berakhir dengan kegagalan, apa lagi keputusan tergesa-gesa yang
seolah tanpa pertimbangan.
Ditengah-tengah
penantian terhadap keputusan terbaik dari presiden, penulis berkeyakinan,
publik menyimpan kekecewaan di dalam lubuk hati yang paling dalam terhadap
Jokowi. Sebab terlihat jelas sikap presiden yang terkesan lambat dalam
memberikan keputusan. Hal ini tanpak berbeda pada saat ingin mengajukan Budi
Gunawan calon tunggal Kapolri. Sebagaimana diberitakan, belum hitungan hari
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengajukan beberapa calon kepala Polri,
presiden langsung menunjuk Budi Gunawans sebagai calon tunggal yang diajukan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Banyak pihak
yang menyayangkan penunjukan Budi Gunawan tidak melalui pertimbangan KPK dan
Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Presiden memiliki hak
prerogatif dalam mengangakat kepala lemabaga negara dijadikan alasan oleh
kelompok pro keputusan presiden termasuk wakil presiden Jusuf Kalla waktu itu.
Inilah akar permasalahan atas perseteruan antara KPK dan Polri.
Ini harus
dipahami betul-betul oleh Jokowi. Jika presiden tidak segera mengambil keputusan,
maka situasi akan semakin mencekam dan kemarahan publik nantinya akan semakin
mempertegas bahwa posisi presiden telah sedikit kehilangan daya tawar di mata
rakyat. Harapan masyarakat kepada pemimpin baru perlahan akan tergerus jika
presiden tidak tanggap dengan permasalahan yang terjadi.
Atas situasi ini setidaknya tiga catatan penting bagi presiden untuk
melanjutkan tampuk kemepimpinannya: Pertama, Indonesia adalah negara
kesatuan republik yang menjunjung tinggi sistem demokrasi atau musyawarah.
Alangkah lebih bijak jika setiap keputusan yang akan diambil didasarkan pada
hasil musyawarah. Dalam kontek ini, lembaga-lembaga negara yang memiliki peran
penting harus menjadi kawan bermusyawarah presiden. Asas musayawaroh adalah
karakteristik bangsa sebagai mana tertuang dalam pancasila ke-4, kerakayatan
yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan atau perwakilan.
Kedua, waktu
yang panjang hendaknya dijadikan kesempatan untuk memantabkan putusan.
Pertimbangan yang akan menghasilkan keputusan yang memuaskan.
Ketiga,
sebagai kepala negara Jokowi diharapkan dapat bersikap tegas tanpa pandang bulu
untuk memberantas mafia-mafia di lembaga pemrintahan. Presiden adalah seorang
negarawan yang harus berpihak pada kepentingan rakyat. Bukan pada kepentingan
tertentu yang nantinya dapat merugikan rakyat.
Keputusan
cepat presidean untuk menyelasaikan perseteruan antara KPK dan Polri sedang
dinanti sebelum memakan korban, setelah keduanya sudah saling sikut.
*)Peneliti di Idea Studies dan Human Resourch Departement SKM Amanat UIN
Walisongo Semarang.
No comments:
Post a Comment