Bila kuingat sore itu, tak ingin lagi kumendengar walau
secarik riwayat tentangmu. Apa lagi untuk melihat atau menemuimu. Hari suka
dengan sebungkus luka, semua karena kumantabkan putusan untuk memilihmu. Lukaku
makin memar ketika engkau pergi dengan janji yang telah engkau ingkari.
Google Photo. |
Tak hanya bi Darsi. Salma, anaknya yang masih duduk di
Sekolah Dasar pun ikut tersedu. Mukanya mengucur, kuyup, sekuyup mukaku ketika suatu
hari paman jengkel dengan sikapku yang tak mau mendengar imbaunya. Mungkin saja
ia menganggap kalau Madin, sepupunya ini, di usir atau akan hilang entah
kemana.
Sementara kusaksikan paman tetap asyik dengan kreteknya,
semakin mempertegas putusannya.
“Din, aku telah memberimu sebuah pilihan dan kukira
kamu sudah tentukan pilihanmu sendiri. Itu artinya, kamu harus menanggung
segala kosekuensi, kamu harus tetap di rumah seperti yang telah aku katakan
sebelumnya. Kalau kamu tetap pergi, aku tak tanggung jawab lagi denganmu. Kau
urus sendiri hidupmu.”kata paman di sebuah malam.
Paman berlalu. Suasana hening, menambah semakin jelas detak
jantungku di ruang tamu malam itu. Tak kudengar lagi bunyi mesin jahit yang sedari
tadi mendengus nyaring, mencampuri cakapku. Di balik tembok aku dapat merasakan
kalau bi Darsi juga terdiam setelah mendengar cakap kami yang berakhir dengan
keputusan mutlak paman. Entah benci atau senang bibi mendengar putusan yang
tegas itu. Barangkali juga, ia sedang menyusun kalimat untuk menambah
kepedihanku, menerkampu dengan keputusan yang lebih menyakitkan untuk diucapkan
kepada ponakan kesayangannya.
Keputusanku bulat walau dada sebenarnya sesak karena dirundung
kesalahan. Tepat pukul 16.00 aku lepas dari keluarga dan kampung halaman. Hidup
sendiri sembari mengadu nasib di daerah rantau.
***
Kabar bahagia kelulusan sepertinya enyah begitu saja. Mengingat
wajah bi Darsi yang sayu, ditambah murka paman yang mungkin sekarang ia telah
mengutukku lantaran aku tidak nurut dan bisanya hanya membantah.
Paman marah besar. Baru kali pertama kudengar ultimatum
itu langsung dari lebam bibirnya. Bibi yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa
menangis karena aku tetap memilih untuk pergi ketika paman di puncak kemarahan.
Lagi pula, kepergianku untuk mengkulak pengetahuan dan pengalaman. Bukan yang
lain. “Apalah artinya lulus jika kubiarkan mengkarang”pikirku
Sepanjang perjalanan sebongkah demi sebongkah perjalanan
hidup masih lekat dipikirku. Beragam peristiwa yang menyayat mencampuri hidup
yang sebatangkara. Mulai dari kepergian emak hingga akhirnya bapak minggat
dengan istri barunya dan menitipkanku kepada saudara perempuannya. Seorang
paman yang semula menimangku sebagai ponakan kesayangan berubah sikap lantaran
dosa yang kuperbuat.
Laju kencang bus “Indonesia” setelah 15 menit
meninggalkan sebuah terminal, membuat desir angin begitu keras membentur kaca,
menerobos, memasuki lubang-lubang kecil, meraba wajahku dan beberapa penumpang
lain yang sudah mulai terlelap. Lampu
remang menambah suasana semakin mencekam, menambah luka semakin dalam. Aku yang
duduk di kursi barisan ketiga dari depan sampai kini tak kuasa memejamkan
kelopak. Kantukku hilang seperti telah terlelap berbulan-bulan.
Sesekali terdengar percakapan kecil sopir dan kondektur
di bagian depan. Entah apa yang mereka cakapkan. sempat terlintas dipikiranku, berharap
pembahasan mereka adalah tentang rasa kecewa dan kesedihan dengan harapan
ketika sampai puncak klimak pak sopir kehilangan konsentrasi. Lalu, bis yang
dikendalikan menabrak pohon atau jatuh ke jurang. Dengan begitu, kepedihanku
akan pergi bersama azroil ketika mencabut nyawaku.
Imamah, tunanganku. Wanita itu masih lekat dibenakku. Wanita
desa sebelah yang jangkung. Postur tinggi dengan rambut di atas bahu. Mukanya
memanjang dengan alis tebal diatas kelopak matanya yang tajam. Ia lebih persis
dengan laki-laki. Maka tak heran kalau orang-orang sering menyebutnya si tomboy.
Pakaian Imamah pun tak seperti perempuan kebanyakan. Baru sebulan kami
bertungan.
Aku suka Imamah sejak aku masih di sekolah menengah
pertama. Namun, bukan karena ia tomboy. Aku melihat, dibalik ketomboyan Imamah
ternyata ia lebih feminis dari sosok wanita yang pernah kukenal. Ia tak seperti
wanita lain di kampungnya yang hanya mengobral janji. Tak sedikit orang memperebutkan
Imamah, namun tak segan-segan ia menolaknya. Peristiwa serupa bukan kali
pertama ia lakukan. Berkali-kali ia ingin dipinang, berkali-kali pula ia hadapi
dengan tanpa kata kecuali penolakan.
Sebagian orang ada yang sampai heran dan tak segan-segan
mengecapnya dengan perempuan tak baik. “memang siapa dia, anak bupati ya bukan.
Kalau sudah jadi perawan tua baru tau rasa dia” celetuk yang lain.
Aku yang faham Imamah, hanya tersenyum mendengar deretan
kalimat yang keluar dari bibir tetangganya itu. Aku tahu kalau penolakan Imamah
bukan sebab ia tak mau disunting. Bukan ia tak mau dengan hidup bergelimang
harta, karena konon salah seorang yang ingin melamarnya itu adalah saudagar
kaya.
Semua karena aku. ya, Ia tak ingin mengingkari janji. Tepatnya,
janji kami berdua. Aku pun demikian.
Suatu hari, rahasia kami terbongkar. Aku didesak keluarganya
untuk meminangnya, lantaran orang tuanya sudah tak sanggup menahan malu. Malu karena
pembicaraan tetangga. Itulah kebiasaan orang-orang di desa kami. Mereka lebih
gampang mengurus orang lain dari pada urusan sendiri.
***
Jarum jam menunjuk angka satu lebih 10 menit. Bus masih
dalam kencang. Aku tak ingat sudah berapa kali ia melewati tikungan, sampai di
kota mana ia membawaku. Tapi yang jelas, aku akan sampai sebelum fajar
meninggi. Aku tidak khawatir tersesat karena aku akan turun di pos terakhir
dimana bus ini akan berhenti.
Kulihat beberapa penumpang di belakang telah
terbangun. Tapi sejauh ini, kantukku
belum juga datang. Masalah tumpang tindih menerpa pikirku.
Terus terngiang di benakku mengapa paman marah dan tak memberiku
ijin untuk pergi. Ini terkait erat dengan si tomboy Imamah. Penawaran
dilematis, antara mempertaruhkan kisah rantau untuk memilih Imamah atau
meninggalkannya.
“Kalau kamu ingin merantau, kau tinggalkan si Imamah.
Kalau tidak maka kamu tak boleh pergi. Kamu tetap disini”kata paman ketika
kuajukan permohonan setelah beberapa kali menerima desakan dari keluarga Imamah.
Sebuah pilihan yang aku sangat sulit untuk
menentukannya. Tidak sebentar aku telah mengharapkan Imamah untuk menjadikannya
sebagai kekasih. Sementara cerita-cerita tentang dunia rantau masih lekat dalam
mimpi yang harus diwujudkan. Apa pun caranya aku harus mendapatkan keduanya.
Pikirku.
Tak berselang lama, bantuan pemerintah melalui program
beasiswa rupanya menjadi jawaban, mengantarkanku pada apa yang kuharapkan
setelah sebelumnya kuputuskan memilih Imamah. Tak pernah terfikir kalau paman akan
tetap bersikukuh melarang kepergianku.
Di daerah rantau banyak sekali wanita cantik dan seksi.
Sifatnya pun beraneka ragam. Ada yang baik ada pula yang kurang baik. Banyak
dari tetanggaku yang tak kembali ke desa lantaran sudah terpikat dengan gadis
manca. Setelah mereka sukses dan punya penghasilan yang mapan, mereka menetap
dan berkeluarga di sana. Mereka lupa sanak kerabatnya yang ada di desa.
Paman melarangku pergi lantaran aku takut mempermalukan
keluarga. Setelah aku sukses, dikira aku
akan meninggalkan Imamah dan memilih hidup dengan gadis lain di perantauan.
***
“Kapan aku akan mendengar lagi suaramu, candamu, tawamu
dan kebersamaan kita” kata mu, beberapa pekan menjelang kepergianku. Kulihat
matamu merah masam. Mendung di atas ufuk menambah redup rupamu di senja itu.
“jangan khawatir”jawabku.
Aku mencoba menenangkanmu. Kuraih kedua jemarimu.
Kulihat butiran air di pipimu yang ranum ketika kutatap wajahmu untuk
kuyakinkan. Padamu kukatakan:
“Imamah, Aku pergi untuk sementara waktu. Untukmu.
Untuk kita. Pada saatnya nanti, aku akan
kembali. Kita akan menyatu kembali. Kita akan bangun sebuah keluarga bersama.
Aku akan pulang untuk menjemputmu, membawamu kesebuah kehidupan yang bahagia
dengan apa yang telah kuraih di luar sana”
Lalu, kau rebahkan kepalamu tepat di atas bahuku. Kuraih
punggungmu. Kaupun juga. Kita dalam peluk yang sendu disaksikan kursi kayu dan
sorakan burung dadali yang berhamburan ingin menyambut datangnya hujan. Kau
dalam tangis hingga membuat bajuku basah kuyup.
Kau melepas peluk, kutatap lagi wajahmu. Kupegangi
pundakmu. Dalam-dalam kau juga melempar pandang tepat di mataku.
“aku janji,
sayang,,,”kumantabkan kata itu berkali-kali. Kau mengangguk yakin walau tangis
masih menetes dari matamu.
Sore itu adalah air mata terakhir yang kuingat dari
matamu setelah dua tahun aku diperantauan ini. Air mata pengharapan sekaligus
pesan kesetiaan. Tak pernah kubayangkan sebelumnya akan menjadi air mata
kemunafikan. Keyakinan seperti aku yang ingin meyakinkanmu bersabar atas
kepulanganku, seketika, menjelma penyesalan. Baru saja kudengar, secara sepihak
kau telah memutus hubungan dan memilih hidup dengan lelaki pilihan orang tuamu”
Cerpen Imamah. Terbit di majalah IDEA edisi 34, Latah Musik Indonesia 2013
No comments:
Post a Comment