Oleh Miftahul Arifin
Dimuat di radadar madura, oktober 2012
Dimuat di radadar madura, oktober 2012
Salah seorang warga singapura pernah berkata, “bukan
indonesia yang butuh dunia tapi dunia yang butuh indonesia”.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Paling tidak, dengan
dua alasan; pertama, sebagai reaksi atas sejarah panjang perjalanan bangsa
Indonesia. Tentu masih lekat dengan ingatan bangsa indonesia, dimana republik
ini menjadi objek
sekaligus medan kompetisi bangsa asing. Mulai dari portugis,
jepang hingga belanda sebagai Negara paling betah “menyetubuhi” Negara Indonesia.
Dalih berdagang hanya sebagai kedok dari maksud terselubung yang ingin mereka
lancarkan; mengeruk kekayaan alam, bahkan ingin menguasai negeri ini. Hingga
kini pun, kolonialisasi itu masih tetap berlangsung namun dengan cara yang
nyaris berbeda. Yang disebut terakhir inilah yang mungkin sangat tanpak dalam
memori warga singapura tersebut.
Kedua, sebagai reaksi kekaguman terhadap bentangan alam
Indonesia, baik secara geogerafis maupun geologis, dimana struktur bumi
Indonesia mengndung lempengan mineral yang dapat mendudukung keberlanjutan
hidup umat manusia.
Dua hal diatas memang cukup representatif untuk dijadikan
alasan. Memang demikian adanya. Sebagai warga negara, yang secara langsung
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, penulis perlu mengamini pernyataan itu.
Dan masyrakat tentu sudah mafhum,
bahkan mereka akan secara lantang menjawab “ya”, jika diajukan sebuah
pertanyaan: benarkah Indonesia memiliki kekayaan melimpah? Bahkan golongan awam
sekalipun, seketika, akan menjadi “jenius” menanggapi pertanyaan
tersebut.
Namun, faktanya, apa yang terjadi saat ini adalah tidak
tercerminnya kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari kekayaan
yang ada. Sebaliknya, masyarakat kian terpuruk; tidak menemukan kenyamanan
hidup.
Problem
Kemiskinan
Dalam sebuah artikel yang berjudul “tori indonesia maju” (Jurnas:7/10/11),
dijelaskan bahwa kemelaratan indonesia ditengarai karena elit pemerintah yang
mengeruk kepingan pribadi dengan mengekor dan mengolah kebijakan yang
menguntungkan asing, dan merugikan bangsa secara semena-mena. Selain itu,
rusaknya sistem produksi dalam negeri yang disebabkan adanya kebijakan
ekspor-impor yang tak terkendali dan tak terawasi.
Akibat yang paling tampak dari insiden “mengerikan” di atas
tak lain adalah problem kemiskinan yang kian mengemuka. Kemiskinan menjadi
problem utama karena ia akan berdampak pada berbagai sendi kehidupan manusia
yang sangat vital. Ia akan menjadi mesin pembunuh yang berbahaya bagi fisik dan
pribadi masyarakat. Bukti kongkrit, berapa banyak korban gizi buruk, yang
disebabkan kurangnya suplay makanan yang sehat, bersih dan bernutrisi?
Pun tak sedikit nyawa melayang karena korban kelaparan. Ironisnya, dalam
kondisi ini pun, para aparatur negara masih sempat membahas kenaikan gaji tanpa
ada koreksi terhadap kinerjanya.
Masyarakat miskin tidak dapat mengenyam pendidikan dengan
normal. Bahkan, demi sesuap nasi, sebagian mereka lebih memilih menjadi kuli dari
pada melanjutkan studi. Disinilah letak gagalnya lembaga pendidikan membentuk
karakter masyarakat secara merata. Pemerintah belum sukses “mendidik” warga
negaranya secara efektif. Dan bukankah kita semua tahu bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan. Inilah yang selama ini belum sepenuhnya
di sadari oleh pihak pemerintah. Pendidikan gratis yang digadang pemerintah selama
ini belum berjalan secara optimal. Banyak temuan, biaya pendidikan untuk warga
miskin tak tepat sasaran. Belum lagi, banyak alokasi dana pendidikan yang
dikorupsi. Nahas.
Implikasinya, masyarakat miskin yang tak mengenyam
pendidikan akan lemah secara moral dan pengetahuan. Ia akan mudah terdoktrin
oleh lingkungan. Maka, tak heran jika banyak dari mereka memilih jalan pintas
untuk menyambung hidup. Merampok dan menjamret atau yang lainnya. Bahkan, tanpa
bermaksud menyindir pihak lain, mereka akan rela pindah agama karena kebutuhan
ekonomi. Mungkin inilah yang pernah disinggung dalam sebuah maqolah: Kadza
al fakru an yakuuna al kufru: kefakiran akan lebih dekat dengan kekafiran.
Peran
Muslim
Sebagai Negara yang dihuni oleh mayoritas muslim, peran
muslim sangat penting dalam mengatasi problema masyarakat, dalam hal ini
kemiskinan. Secara radikal, dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan tanggung
jawab umat islam.
Sebenarnya, islam telah memiliki konsep yang sangat apik
dalam menangani problem kemiskinan. Kemiskinan dalam islam menjadi tanggung
jawab bersama, tak hanya pemerintah atau sebuah institusi negara. Kewajiban
membayar zakat bagi seluruh umat islam, disamping untuk membersihkan harta,
secara sosiologis, merupakan satu trobosan untuk meminimalisir kemiskinan. Makanya,
urutan penerima zakat pun adalah orang fakir miskin. Selama masih ada fakir
miskin, maka pemberian zakat tidak dianjurkan kepada yang lain.
Ahmad Mustofa Al Maraghi dalam tafsirnya al Maraghi menegaskan
dua hal fungsi zakat; pertama, sebagai modal pertahan Negara dalam menyangkal
serangan musuh. Kedua, menyelamatkan manusia dari kematian karena kelaparan.
Menurut penulis, jika problem utama yang cukup mendesak dicarikan solusi adalah
kemiskinan, maka tujuan zakat tak lain untuk itu. Dalam kontek ke-indonesia-an,
kiranya, sangat tepat gagasan Al Maraghi untuk dijadikan pertimbangan.
Sayangnya, fungsi zakat di Indonesia, saat ini, belum berjalan
dengan baik. Salah satu problemnya adalah karena penyaluran zakat tidak
sepenuhnya dihandle oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Amil Zakat
(BAZ). Penyaluran zakat, khususnya bagi masyarakat pedesaan saat ini masih
banyak dihandle sendiri. Selain, sifatnya yang berupa konsumtif,
terkadang penyalurannya pun kurang tepat. Misalnya, untuk musholla atau lembaga
pendidikan. Dalam islam, hal ini sah-sah saja. Namun, alangkah baiknya jika
zakat diberikan langsung kepada fakir miskin. Sehingga, dapat memenuhi tujuan
utama zakat sebagaimana disyariatkan agama islam; mengurangi angka kemiskinan.
Sementara pemberian zakat dalam bentuk barang konsumtif dinilai kurang kreatif.
Optimalkan
Fungsi Zakat
Oleh karena itu, agenda terpenting saat ini, selain upaya
terus menerus melakukan perbaikan terhadap perekonomian negara, tidak ada
salahnya jika sistem penyaluran zakat Indonesia juga diperbaiki. Salah satunya,
pemerintah mewajibkan kepada seluruh masyarakat agar zakat yang mereka
keluarkan, baik zakat fitrah maupun zakal mall, harus melaui
badan-badan yang telah ditunjuk pemerintah. Momen ini sangat tepat mengingat
saat ini memasuki bulan suci ramadhan, dimana, setiap umat islam wajib membayar
zakat (zakat fitrah).
Peran lembaga zakat adalah mengoptimalkan penyaluran zakat bagi
masyarakat miskin di seluruh seantoro indonesia. Barang barang zakat harus
berupa lapangan kerja (zakat produktif) yang dapat menumbuhkan kreatifitas
masyarakat miskin. Zakat produktif memiliki fungsi yang sangat apik, yaitu dapat
mengurangi angka penduduk miskin secara riil. Meskipun butuh waktu panjang,
mengingat angka kemiskinan sangat banyak, zakat produktif memiliki danpak yang nyata.
Saya kira begitu.
Miftahul
Arifin, Penulis Adalah Mahasiswa IAIN
Walisongo Semarang, santri Pondok pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu
Bluto Sumenep
No comments:
Post a Comment