Google Photo. |
Menyesal, engkau pernah penjadi orang yang aku puja. Malam
itu adalah malam kenangan walau tidak sarat dengan makna yang berarti. Pertama
dan terakhir kali. Langkah pastiku terhenti dan terputus begitu saja tanpa selembar
pesan walau sekadar ucapan terima kasih. Sebaliknya, justru kau tinggalkan
kebencian yang aku lihat pada sebuah pesan dari hari ke hari ketika aku
mengabarimu.
Menyesal pula malam itu bunga aku berikan walau
sejatinya hanya kebetulan, karena aku ingin berbagi untuk orang di luar agama
kita, jika itu menjadi petaka yang telah merusak hubungan kita sebagai parter
kerja.
Dari hari ke hari setelah malam itu, engkau seperti
orang asing yang menganggapku hanya sebagai manusia tak ‘berguna’. Beberapa
kabar yang aku sampaikan menjadi belenggu bagimu, yang membuatku enggan
mendapatimu dalam suasana apapun.
Aku selalu berfikir dan berusaha memperbaiki komunikasi
dari awal seperti kita baru kenal dan tak ada kecurigaan dari setiap komunikasi
yang kita lakukan. Kita adalah tim yang tak seharusnya menyimpan ‘dendam’.
Namun, aku melihatmu tak menyukainya. Dan kecurigaan
masih engkau rasakan. Kulihat itu dalam komunikasi kita yang terakhir melaui
pesan singkat.
“Nisa, kamu sudah pulang?”
“Memang kenapa?”
“Tidak apa-apa,” jawabku. “Oh ya, bukumu
masih ada di aku ya? kemaren-kemaren aku ingin mengembalikannya tapi kamu
bilangnya santai saja. Akhirnya aku jadi lalai, maaf,” lanjutku.
“Kamu taruh saja di Amanat!” Jawabmu.
Benar, engkau pulang kerumahmu di daerah Cirebon. Tapi,
dalam waktu dekat engkau akan kembali. Mungkin ada hal penting yang perlu kamu
lakukan.
“Oh, begitu. Padahal dari kontrakanku lebih dekat
dengan kontrakanmu dari pada ke Amanat. Kenapa kamu menyuruh menitipkannya di
Amanat. Apa tidak saya kembalikan langsung ke kontrakanmu?” jawabku. “Sepertinya
kamu takut ketemu aku lagi? santai bro, santai, hehe” tambahku.
Aku ingin membuka suasana. Bercakap seperti dan
bercanda seperti biasa dari teman ke teman. Sudah beberapa minggu kita tak
bertemu dan sepertinya bukan ketidaksengajaan. Kuharap pertanyaanku engkau
jawab dengan terbuka dan penuh candaan pula.
“Nanti aku tak bilang ke mbak kosku. Mau
dikembalikan kapan?” jawabmu tanpa ekspresi sedikitpun. Nada kebencin semakin
jelas aku merasakannya.
“Sore,” jawabku singkat.
“Ok!” jawabmu
Tibalah sore itu tanpa kabar lagi darimu. Kudatangi
kontrakanmu di sebuah perumahan. Kuberikan buku itu kepada salah seorang
temanmu yang aku tak mengenalnya.
Buku itu telah aku pinjam beberapa bulan yang lalu.
Beberapa kali aku bermaksud mengembalikanya. Telah kutanya, engkau ada dimana
saat itu, kapan kembali ke kos saat itu. “Aku ingin mengembalikan buku!”
kataku.
“Santai saja,” katamu.
***
Setelah malam itu, kita memang tidak pernah bertemu
kecuali beberapa kali dalam acara kumpul bersama di di kantor Amanat, kantor
Pers Mahasiswa di kampus kita kuliah. Di sana, aku hanya melihatmu. Kita tanpa
cakap. Setelah itu engkau pergi.
Beberapa kali aku pernah mengajakmu ke suatu acara.
Beberapa kali itu engkau tak mau dengan beragam alasan. Tiga kali kau menolak
ajakan dan setelah itu aku tak lagi mengajakmu. Bahkan kuhentikan basa-basi
melalui pesan singkat denganmu. Balasan tanpa ekspresi yang kugambarkan sebuah
kebencian menyadarkanku untuk tak lagi menghubungimu.
Engkau yang ingin dekati lebih intim, ternyata engkau
tak menyukainya. Aku telah pergi dari kehidupan ‘memuja’mu.
Semarang, 20 Januari 2014
No comments:
Post a Comment