Siang itu aku mendapat kabar; Aku masuk dalam daftar
penerima beasiswa asrama. Termasuk beberapa temanku yang lain saat itu juga
masuk dalam daftar itu. Padahal, beberapa bulan lalu kontrakku di asrama sudah
selesai dan aku sudah pindah ke sebuah kontrakan di sebuah perumahan.
Mengapa aku masuk dalam daftar? Tak ada yang tau
pasti jawabannya. Aku dan teman-yang lain hanya menduga, asrama ada lebihan
jatah dan aku adalah orang pilihan, mungkin karena aku dan beberapa teman yang
lain adalah ketua lembaga. Namun ada pula sebagian bukan ketua lembaga tetapi
ia juga tertera dalam daftar. Apa sebenarnya kategori penerima jatah lebihan
itu? Tak ada yang tau kecuali Wakil Dekan Bagian Kemahasiswaan dan Kerjasama.
Sebagai ketua lembaga Pers mahasiswa, ada sebagian
orang yang sedikit menyalahkanku lantaran aku tidak mengusutnya. Ia sedikit
tidak terima lantaran tidak ada ketentuan yang jelas, yang transparan, mengenai
kriteria penerima jatah itu. Ia agak sedikit mengoceh, bahkan hampir menuduhku
yang bukan-bukan. Karena aku juga dapat jatah lah, dan lainnya.
Padahal sama sekali aku tidak berfikir kesana. Tidak
ada ketentuan yang terbuka mengenai hal itu. Tapi bagiku ini hanya masalah
sepele dan tak baik jika dibesar-besarkan. Dan lagi pula ini hanya sisa jatah
beasiswa untuk mahasiswa yang pernah menetap di asrama. Dan tidak memiliki
pengaruh yang signifikan bagi kepentingan mahasiswa secara umum.
Secara prinsip memang perlu dipertanyakan mengenai
kategori tersebut. Dan sekali lagi ini masalah yang terlalu sepele yang bisa
saja nanti akan berdampak tidak baik. Dan dalam hal ini aku lebih memilih
danpak yang laing sedikit dari pada mempertaruhkan idealisme untuk hal-hal yang
sepele seperti itu.
***
Karena namaku terdaftar sebagai calon penerima, aku
pun mengajukan berkas-berkas persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya
adalah foto copy buku tabungan bank BTN. Berkas itu aku setorkan ke bagian yang
bertugas di kantor fakultas.
Beberapa hari setelah itu, aku kembali mendapat kabar dari
salah seorang teman untuk mengumpulkan foto copi rekening lagi, 3 lembar dan sudah di legalisir oleh pihak
bank. Waktu terakhir pengumpulan hari itu. Aku bergegas, menuju kontrakan yang
letaknya tak jauh dari kampus. Ku ambil buku tabungan di tumpukan berkas-berkas
kuliah yang lain. Aku menuju tempat foto copi. Setelah itu aku langsung menuju
Bank BTN untuk dilegalisir.
“Selamat siang mas, ada yang bisa saya bantu,” sambut
teller bank atas kedatangku
“Legalisir, mbak,”
Kusodorkan tiga lembar foto kopi tabungan BTN. Teller
bank menerimanya dengan seulas senyum buatan di bibirnya yang kemerah-merahan.
“Ini tabungan apa, mas? Ini tabungan Bank Jateng,”
katanya kemudian.
“Waduh!” gumamku. “Maaf, mbak, salah !”
Jiambreeet. Ternyata aku salah mengambil tabungan.
Aku kembali menuju kontrakan, mencari tabungan BTN. Nahas. Setelah beberapa
lama aku obrak-abrik seluruh kumpulan berkas-berkas kuliah, buku tabungan tidak
ketemu. Aku bingung lantaran waktu sudah mepet.
“Ah, sudahlah. Mungkin ini bukan rizekiku,” gumamku.
Aku kembali ke kampus. di kampus aku ketemu salah seorang teman yang tadinya
juga bertmu di Bank BTN dalam urusan yang sama. Ia lantas menyuruhku untuk
melaporakannya ke BTN.
“Eman-eman, masih ada waktu,” katanya.
Saat itu waktu hanya tersisa sekitar setengah jam.
Atas usulan itu aku kembali bergegas menuju Bank BTN yang letaknya sekir 200 meter
dari kampus. Kata pihak bank, untuk mengganti buku tabungan harus meminta surat
keterangan kehilangan dari pihak kepolisian.
“Nasiib, Nasib!”
Saat itu aku sudah menyerah. Waktu sudah mepet.
Pikiran tidak karuan. Dan saat itu aku juga harus pergi ke kantor LPM untuk
satu keperluan. “Mungkin memang bukan rizekiku”
***
Malam itu, aku dan temanku menapaki malam. Berjalan
menuju sebuah moshalla, tempat salah seorang temanku. Aku baru mendapat
pinjaman motor darinya setelah puluhan temanku yang lain kuhungi untuk
kupinjami. Malam itu aku ingin pergi kesuatu tempat, menengkan diri.
Jalan-jalan lah!
Dari belakang tiba-tiba terdengan suara motor. Motor
itu semakin mendekat. Mendekat, hingga sampai di sampingku. Berhenti.
“La sampyan mas, mau kemana,”
“Mau ke asrama. Oya tadi aku ketemu sama pak taufik.
Katanya kamu juga belum mengumpulkan rekening?”
“Ya mas, tapi rekeningku hilang”
Aku juga belum mengumpulkan. Besok senin terakhir
disuruh mengumpulkan ke kantor. Di tunggu jam 8,”
“Owh, gtu ya mas. Ya dah kalo gitu, besok aku mau
minta surat keterangan kehilangan ke polsek ngaliyan. Aku mau buat rekening
yang baru,”
"Ya sudah, kalo gitu, senin kita bareng-bareng ke
kantor,”
“Ok, siap!”
***
“Permisi pak, mau tanya. Kalau ingin membuat surat
keterangan sebelah mana ya?”
“Surat keterangan apa ya mas?”
“Surat keterangan kehilangan,pak! Tabungan saya
hilang,”
“oh, sebelah sana, mas !” tunjuk lelaki dengan
seragam itu ke sebuah ruangan yang ada di belakangnya.
“owh, ya. Terima kasih, pak!”
“Sudah bawa foto copi-annya?”
“Foto copian apa, pak!”
“Foto copi-an tabungan”
“Memang, harus bawa itu ya pak?”
“Ya biasanya memang begitu. Untuk lebih jelas, mas
langsung tanya ke dalam saja”
“Oh, ya. Terima kasih, pak!”
Pagi itu, adalah hari pertama aktifitas yang aku
lakukan setelah bangun tidur. Aku bergegas menuju Polsek Ngaliyan. Kabar dari
teman pada malam minggu itu memberikanku sedikit harapan bahwa jatah beasiswa
masih bisa aku dapatkan.
Aku memasuki sebuah ruangan ketika itu. Ada banyak
orang di sana. Sedikitnya ada tiga orang petugas dan beberapa orang yang tidak
ku kenal. Sebagian aku melihat ia mempunyai maksud yang sama denganku.
“Apa iya, harus membawa foto copi buku tabugan?”
gumamku megingat-ingat petugas yang kutanyai ketika di halaman.
Tanpa berfikir panjang, karena kebetulan antre-an
masih agak panjang, aku bergegas keluar. Menuju sebuah motor yang aku parkir di
bagian depan polsek.
Aku berjalan menuju kampus. sesampainya di sana, aku meminta foto copi-an
tabungan yang sebelumnya telah aku setorkan ke bagian petugas pengumpul berkas
beasiswa. Aku juga memfoto copi KTP.
“Barangkali juga diperlukan!” pikirku.
Beberapa menit aku telah kembali ke polsek. Masih
terlihat beberapa orang di sana. Aku mengantri, duduk di sebuah kursi panjang.
Di sampingku duduk seorang lelaki.
“Mau apa, mas?” sapaan pertama lelaki berpenampilan
rapi itu.
“Mau buat surat keterangan kehilangan, pak!”
“Apa yang hilang, mas?”
“Buku tabungan”
“Owh, sama. Punya saya juga hilang,” katanya sembari
menunjukkan nomer rekening yang ditulis dalam kertas kecil. Tanpa foto copi KTP
atau buku Tabungan. “Ah, sia-sia aku rupanya,” gumamku
Aku mematung beberapa saat. Kulihat polisi itu tengah
melayani seorang wanita. Sepertinya juga dengan keperluan yang sama: Surat
Keterangan Kehilangan. Sepertinya, orang-orang yang datang ketempat itu punya
satu maksud yang sama. Entahlah, kalau demikian adanya, sudah berapa barang yang hilang dalam
beberapa hari ini.
Aku hanya berfikir, betapa banyak data kehilangan di
polsek itu. Kepolisian hanya mendata dan merekomendasikan surat keterangan
sesuai permintaanya. Tidak lebih dari itu. Barangkali.
Tak lama setelah surat itu selesai, wanita agak muda
itu kemudian menjulurkan uang 10 ribu-an ke petugas. Entah itu uang untuk apa,
aku tidak tahu. “Masak iya, buat suratketerangan
harus ada uang administrasi?” kata hatiku.
“Oh ya pak, apa iya, kalau buat surat ketengan harus
ngasih uang?” bisikku kepada bapak di sampingku.
“Saya tidak tahu, la kamu mau ngasih nggak, nanti?”
“Gak usah, pak!”
“Ya sudah, saya ngikut saja nanti,”
Aku mengangguk. Pandangannku kembali tertuju ke
petugas. Sesaat telah sampai pada giliranku. Petugas menanyakan keperluanku.
Kuberi tahu maksud kedatanganku. Kusodorkan KTP dan foto copi buku tabungan.
Petugas itu kemudian mendatanya. Bertanya seputar kehilangan itu. aku menjawab.
Beberapa menit surat keterangan itu di stempel. Di tandatangani. Dan disodorkan
kepadaku. Selesai.
Aku mengambilnya dan pergi tanpa memberi sepeser uang
pun ke petugas. Petugas juga tidak memintanya. “Alhamdulillah, ternya tidak ada
uang administratif,”
***
Foto copi rekening Bank BTN dan surat keterangan
kehilangan dari kepolisian telah kusodorkan ke teller bank.
“Mbak, mau legalisir buku tanbungan. Tapi buku
tanbungan saya hilang. Yang ini adalah surat keterangan kehilangan dari
kepolisian. Sekalian saya mau ganti buku tabungan.”
“Satu satu dulu mas, mau legalisir apa mau ganti buku
tabungan?”
Sesaat terjadi dialog yang sedikit membuat aku marah
kepada teller setelah aku memilih mengganti buku tabungan. Entahlah dia tidak
mengeti maksud ku atau ia yang kurang jelas memberikan informasi. Kata wanita
berbadan kurus itu, kalau mengganti buku tabungan maka seperti membuka rekening
baru. Begitupun harus menabung terlebih dahulu sepeti biasnya. Setahuku ku. Membuka rekening di BTN
minimal harus nabung 50 ribu.
Saat itu aku tidak membawa uang kecuali 3 lembar 5
ribu-an di dompet.
Teller itu juga mengatakan, kalau mengganti buku
tabungan maka nomer rekening akan berubah. Jelas bahwa rekening yang lama tidak
akan dibutuhkan. Jadi kalau seandainya aku memilih legalisir, maka foto copi
tabungan ku yang lama jelas tidak bisa digunakan karena sudah ganti yang baru.
Ia menegaskan, kalau aku memilih melegalisir foto
copi buku tabungan, aku akan kesulitan mengambilnya karena buku tabungannya
hilang. Sang teller seperti membuat teka-teki yang saat itu sulit aku pecahkan.
Pikirku, masuk ia, kalau buku tabungan hilang lantas saldo di dalamnya juga
hangus. Lantas apa gunanya ada surat keterangan dari kepolisian. Apa tidak
mending langsung buat tabungan yang baru saja?
Karena aku memilih urusan cepat selesai,
pertanyaan-pertanyaan itu tidak aku utarakan. Saat itu yang kuinginkan adalah
membuat buku tabungan baru.
Aku keluar dari bank menuju kontrakan. Kepada
temanku, aku meminjam uang 50 ribu untuk membuka tabungan baru. Setelah
bercerita sedikit tentang peristiwa di bank tadi, aku kembali ke bank. Aku
menemui tellernya, lagi.
Sebelum kusampaikan bahwa aku ingin membuat tabungan
baru, aku bertanya:
“Mbk, kalau misalnya buku tabungan hilang, saldo yang
ada di dalamnya juga ikut hangus?”
“Tidak mas, kan nanti kita pindahkan ke buku tabungan
yang baru”
“Jiancuuuuuuuuuuk, maksud saya tadi ya begitu? Kenapa
tadi dia hanya bilang sulit untuk mengambil saldo. oasyem eg.. ” kataku dalam
hati.
Beberapa menit teller bank telah membuatkanku
tabungan baru. Beberapa kali ia memintaku menandatangani beberapa slip. Ada
slip penarikan. Ada slip setoran. Dan slip-slip lain yang aku tidak
mengenalnya.
“Mas, buku tabungannya yang baru, silahkan bisa di
ambil di teller sebelah sana” pintanya sembari menunjuk ke tempat pelayanan
yang lain di sebelah kananku. Aku duduk dikursi, di depan teller, menunggu
antre-an. Sesaat.
“Atas nama Miftahul Arifin!” panggil teller bank.
Aku menuju kehadapannya. Ia meminta KTP untuk
membuktikan kebenaran. Setelah aku memberinya uang 10 ribu setelah ia
memintanya. Aku menunggu sebentar. Setelah itu, ia memberikan tabunganku yang
baru dan slip bukti setoran yang menunjukkan bahwa uang 10 ribu yang saya
berikan hanya biaya ganti buku tanbungan.
“Jiancuuuk,” sumpah serapahku dalam hati pada teller
yang sebelumnya melayaniku. Ia memberikan informasi yang salah. Tidak setoran
awal untuk ganti buku tabungan seperti yang dikatakan sebelumnya. Hanya biaya
ganti buku tabungan. Itu saja.
Rasanya aku ingin meremas-remas teller itu.
“Jiaaambret” sumpahku lagi.
Aku keluar menuju foto copi. Sesuai permintaan
fakultas, 3 lembar foto copi buku tabungan yang sudah dilegalisir. Aku memfoto
copi 3 lembar dan kembali ke bank untuk meminta legalitas.
Setelah aku keluar menuju kampus. Urusan buku
rekening sudah selesai walau masih menyisakan sedikit kecewa dalam hati.
Gara-gari teller koplak.
***
Di kantor aku menemui petugas mengumpul berkas
beasiswa. Ku sodorkan kepada beliau 3 lembar buku rekening yang sudah di
legalisir.
“Oya, gimana tadi dengan pihak bank?”
“Saya ganti buku tabungan baru, pak! ”
“Tapi nomer
rekeningnya masih sama kan?”
“Nggak, pak! Sudah ganti rekeining baru. Kata pihak
bank, kalau ganti buku tabungan rekeningnya juga ganti yang baru, dan rekening
yang lama ditutup” jelasku.
Petugas itu sedikit terkejut. Sesaat setelah aku
minta penjelasan. Ternyata nomer rekening yang (mau) disetorkan ke jakarta dan
sudah mendapat tanda tangan rektor, adalah nomer rekening lama.
Untuk mengajukan ke lagi ke rektor membutuhkan waktu
lama. Dan bisa saja kalau tidak segera disetorkan beasiswa untuk penerima yang
lain juga ikut hangus. Petugas tidak menjamin untuk memberikan solusi untuk hal
tersebut.
Sampai ketika catatan ini aku tulis, solusi belum aku
temukan. Entahlah, aku akan mendapatkan beasiswa itu atau tidak. Hanya tuhan
yang mentukan setelah usaha cukup aku lakukan. Kuserahkan semua ini padamu
tuhan !
Semarang, 09-10 Desember 2013
No comments:
Post a Comment