google.com |
Sejak
beberapa tahun terakhir Indonesia telah memasuki babak baru dalam dunia
teknologi khususnya internet. Jika semula internet hanya bisa diakses oleh
orang kota, orang berduit dan kalangan tertentu seperti pejabat sebuah
instansi, kini, internet laiknya air hujan di sebuah musim yang melimpah,
membanjiri seluruh jagat raya tanpa terkecuali. Kenyataan ini menjadikan
masyarakat seperti disulap. Dari yang semula katrok, gagap teknologi,
dan tradisional menjadi manusia modern yang dapat mengenal dunia tanpa batas.
Internet seperti mengambil peran tuhan yang dapat merubah manusia hanya dengan
satu kata: kunfayakuun, jadilah, maka jadi.
Alhasil,
perubahan besar-besaran telah terjadi, termasuk yang paling menohok adalah gaya
hidup yang digambarkan melalui mode berpenampilan atau berprilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Kita mungkin akan tanpak seperti ‘orang gila’ yang lepas
olah tawa ketika membandingkan foto kisaran tahun 90-an dengan foto kisaran
tahun 2000-an sampai sekarang. Perubahan dalam gaya hidup masyarakat bisa
dilihat aktifitas yang tidak bisa lepas dari internet termasuk media sosial.
Dan
yang paling masyhur, belakangan ini, internet telah berhasil mendongkrak
popularitas seseorang dengan sangat cepat. Bahkan, mereka yang semula tak
dikenal, melalui media sosial, ia menjadi terkenal dan akhirnya diundang banyak
orang karena keahliannya. Sebut saja ustad Maulana. Dengan gaya ceramahnya yang
khas dan unik ia kerap mendapat kesempatan mengisi pengajian di beberapa
stasiun televisi. Dari Kalangan artis kita mengenal Raisya, wanita asal solo
yang kini menjadi salah satu bintang dalam belantika musik Indoensia karena
keahliannya dalam dunia tarik suara yang sempat diunggah di youtube.
Berkat bantuan media sosial, keahlian mereka dapat dikenal khalayak ramai dan
menjadi daya tawar tersendiri untuk masa depan yang lebih cerah.
Sindrom
popularitas
Kenyataan itu kemudian menyedot perhatian banyak orang
menimbulkan ‘sindrom’ popularitas. Satu gejala sosial yang berjalan dan tidak
terkontrol. Ia seolah menjadi candu yang mempengaruhi emosi dan pikiran banyak
orang diantara pengguna internet, khususnya media sosial. Munculnya artis
dadakan-instan, namun lekang oleh zaman adalah gejala ‘sindrom’ popularitas yang tak terkontrol itu. Tidak
ada pertimbangan etis bahwa kreatifitas harus juga dimbangi dengan kontinuitas.
Kita
mungkin masih ingat Salahuddin atau Udin, lelaki asal Nusa Tenggara Barat (NTB)
yang mendadak terkenal karena videonya dengan judul “Udin Sedunia” yang
diunggah di media sosial youtube. Masa-masa itu Udin diuntungkan dengan
meraup jutaan rupiah karena sempat juga membintangi sebuah film yang berjudul
“Udin Cari Alamat Palsu”. Karena tidak adanya kontinuitas dalam kreatifitas,
Udin pun kini hanya tinggal nama yang perlahan mulai dilupakan oleh publik.
Perhatian
publik juga sempat disedot oleh sosok Norman Kamaru atau Oman, mantan anggota
Brigade Mobil berpangkat Briptu yang menjadi terkenal setelah video lip-sync-nya
menirukan lagu India berjudul Chaiyya Chaiyya tersebar di media sosial.
Sampai-sampai ia melepas jabatanya sebagai Polisi Gorontalo karena sindrom
popularitas. Kini, publik mungkin akan menilai sikap Norman sebagai perbuatan
konyol yang karena mengejar popularitas ia lebih memilih menjadi artis dari pada abdi negara. Tanpa bermaksud
menghina, seandainya penulis adalah seorang sutradara, mungin lahir sebuah film
yang berjudul “Polisi Menjadi Tukang Bubur”, menandingi film “Tukang Bubur Naik
haji”. Dalam hal ini sangat disayangkan, jika seorang abdi negara dengan tugas
mulai melayani masyarakat berpindah haluan karena mengejar popularitas untuk
kepentingan pribadi yang bersifat hiburan.
“Popularitas
yang tak tuntas hanya akan menjadikan hidup menjadi nahas. Media sosial yang
hanya digunakan sebagai ajang mengejar populatitas, tanpa dimbangi dengan
kontinuitas sebuah kreatifitas akan berbuntut pada kebagagiaan sesaat.
Selebihnya, hanya kegagalan dan dosa,” ujar seorang teman.
Media
Menawarkan Bakat
Terlepas
dari kepentingan ekonomi creator media sosial seperti youtube.com,
megavideo.com, metacafe.com,metayoutube.com dan lain-lain, sejatinya hanya
sebagai alat bantu untuk menawarkan bakat atau keahlian seseorang. Dengan
menyebarkan bakan atau keahlian di media-media itu, publik akan mengetahui
bahwa seseorang punya kemampuan tertentu untuk dimanfaatkan. Disini, ada
simbiosis mutualisme antara si empunya bakat dengan si pengguna bakat atau
keahlian tersebut (baca: masyarakat).
Mereka
yang memiliki keahlian akan dimudahkan dalam mensosialisasikan keahliannya
untuk dijual pada orang yang membutuhkan. Sebaliknya, si pengguna keahlian akan
juga diuntungkan, karena dengan jasa mereka pekerjaan cepat dan mudah
tersesaikan. Sebagai contoh, misalnya, creator design logo yang menjual
keahliannya lewat media sosial. Para pengguna jasa tersebut tidak perlu bersusah payah mencari rental
pembuat logo seperti zaman dahulu dimana teknologi masih terbatas. Cukup dengan
komunikasi lewat email dan transaksi via rekening, pekerjaan akan
menjadi mudah tanpa mebuang banyak waktu.
Sepertinya, kita perlu mengamini perkataan
Heidegger sebagamana dikutip oleh Fransis Lim dalam Filsafat Teknologi: Don
Ihde tentang Manusia dan Alat (Kanisius, 2012), bahwa sebenarnya teknologi
bersifat netral karena tidak mengandung tujuan. Dalam hal ini, Teknologi hanya
bergantung pada konteks penggunaannya dalam budaya yang berbeda. Masyarakat
Indoensia harus dapat memahami dengan cara memanfaat teknologi temasuk internet
dengan benar.
Menggunakan
media sosial sebagai bagian dari teknologi dengan baik menunjukkan kecerdasan
masyarakat di era modernisasi. Teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia
dalam bekerja dan beraktifitas dengan orang lain demi kelangsungan hidup dan
nyaman. Bukan sebaliknya, untuk menjerumuskan manusia pada sikap individualis
yang merugikan banyak orang. Semoga kita menjadi bagian dari orang yang cerdas
memanfaatkan tekonologi. Wallhua’lam bissawab.
Baca Juga: Siaran Televisi dan Sikap KPI
No comments:
Post a Comment