google.com |
(Tanggapan atas Tulisan M. Arif Rohman Hakim, Wawasan, 28 Januari 2015)
Tulisan M. Arif Rohman Hakim ““Jasmerah” bagi
Jokowi” di Wawasan pada 28 Januari lalu membuat saya tergelitik untuk
memberikan tanggapan, atau setidaknya ingin meluruskan pemahaman umum yang
secara sengaja atau tidak ingin diruntuhkan oleh penulis.
Pemahaman yang dimaksud berkaitan dengan
sikap seorang presiden sebagai kepala negara. Tidak dapat dibantah bahwa
seorang kepala negara harus tunduk pada konstitusi. Bukan pada personal,
golongan atau partai politik tertentu. Publik tentu akan merasa geram dan tidak
segan-segan akan melempar batu hantam jika presiden tidak taat pada
undang-undang, dan justru tunduk pada golongan tententu. Dan sejatinya, mentaati
konstitusi tak lain merupakan bagian dari amanat undang-undang yang harus
dipenuhi oleh seorang kepala negara.
“Jasmerah” ialah “jangan sekali-kali membuat Mega
marah”, plesetan dari “jangan sekali-kali melupakan sejarah” sebagai mana
sering dikatakan Soekaro untuk mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak
melupakan sejarah.
Dalam tulisan berjumlah 16 pragraf itu, Hakim
menggambarkan Megawati sebagai sosok yang tidak bisa dipungkiri memiliki peran
penting dalam kesuksesan Jokowi. Perjalanan Karier Jokowi, menjadi Walikota
Solo, Gubernur Jakarta dan Presiden Republik Indonesia tidak lepas dari peran
PDI Perjuangan. Hakim mengklaim, kesuksesan Jokowi tak lain karena pengaruh
Megawati, yang menurutnya, telah merubah dari “tukang kayu” menjadi orang nomer
satu.
Dari sana Hakim berkesimpulan bahwa,
bagaimanapun, Jokowi harus tetap menjaga kedekatan dengan Megawati. Megawati
adalah sosok paling berharga yang harus selalu dihormati. Bahkan di pragraf
yang lain ia menyatakan, Jokowi harus mampu membuat Megawati selalu tersenyum.
Selain itu, Megawati juga digambarkan sebagai
sosok yang santun. Karena kesantunannya itu, Kata Hakim, ia tak segan-segan
mengekang hawa nafsunya untuk mencalonkan diri sebagai presiden demi Jokowi.
Keikutsertaan Megawati dalam setiap kesempatan, pembentukan kabinet misalnya,
menunjukkan betapa pentingnya posisi Megawati dalam mengawal pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla. “Tidak bisa dibayangkan jika Jokowi sampai membuat Mega marah,”
ujar hakim.
Apa penilaian berlebihan dan tidak didasari
pemahaman yang proporisonal dalam tulisan Hakim. Bangunan ide yang kurang utuh akan
menyesatkan pembaca pada alur berpikir kurang tepat. Saya menduga, secara
moral, Hakim adalah salah satu pengagum Megawati kecintaannya membuat Hakim
tidak bisa memberikan penilain yang proporsional.
Setidaknya beberapa hal yang bisa saya lihat kegagalan
Hakim dalam membangun gagasannya. Pertama, “Jasmerah” bagi Jokowi. Jangan
sekali-kali membuat Mega marah. Pernyatan tersebut jelas mengarah pada satu
negara atau kerajaan dengan sistem monarkhi dengan Megawati sebagai seorang
raja yang harus selalu ditaati dan dihormati seluruh keputusannya.
Padahal, Indonesia merupakan negara yang
berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara, baik
pemerintah atau rakyat jelata harus taat terhadap undang-undang. Terlebih
seorang presiden, ia harus taat pada konstitusi itu demi kesejahteraan rakyat. Sebaliknya,
bukan pada golongan tertentu atau Megawati yang kini hanya berstatus sebagai
Ketua Umum PDIP.
Dalam kontek umum, Presiden berhak mendapat
masukan dari siapapun termasuk Megawati. Selagi masukan itu positif untuk
rakyat, Jokowi berhak menerimanya. Sayangnya, Hakim tidak memberikan batasan
tertentu, dimana, Jokowi harus tunduk
dan hormat terhadap Megawati. Sehingga Hakim telihat kerdil dan pendapatnya
keluar pemikiran yang sempit.
Kedua, penyataan yang sangat berlebihan. Pernyataan
tersebut terdapat pada pragraf ke-11, Tak bisa dibayangkan apabila megawati
marah pada kadernya. Seberapa besar efek negatif jika Megawati marah, kita
tidak pernah tahu, dan tidak dijabarkan olah Hakim dalam tulisannya. Ungakapan
yang sangat berlebihan tetapi tidak didukung oleh fakta yang kuat.
Presiden adalah kepala negara tertinggi yang
keamanannya dijamin oleh undang-undang. Dalam hal ini, Jokowi tidak perlu
merasa khawatir atas kemarahan pimpinan partai pengusungnya jika seandainya
pendapatnya bersinggungan. Yang perlu dikhawatirkan Jokowi sejatinya menghadapi
kemarahan rakyat jika pada satu waktu kebijakannya dianggap tidk berpihak
kepada rakyat.
Hakim juga sempat menyinggung tentang
kelemahan Jokowi, dimana, ia harus menahan pendapatnya sendiri demi menghormati
pucuk pimpinan partainya itu. tetapi dalam kesempatan yang sama ia juga
mengakui serinya bersinggungan pendapat antara Jokowi dengan Megawati. Jika
demkian, tidak ada dasar jika seorang presiden harus hormat kepada pimpinan
partai hanya karena lahir dari partai jika bersebrangan dengan kepentingan
rakyat.
Ketiga, pengambilan sampel yang kurang tepat.
Hakim menegaskan, bahwa Megawati sangat begitu lihai dalam melihat potensi
kader. Dari situ lahirlah banyak kader yang dianggap mumpuni seperti Gubernur
Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Surabaya Tri Riswawati seperti yang
dicontohkan Hakim.
Dalam hal ini Hakim kurang jeli dalam melihat
perjalanan Risma ketika memimpin Surabaya. Kita tentu masih ingat peryataan
Sekretaris DPD PDI-P Jawa Timur Kusnadi yang mengibaratkan Risma seperti
“Kacang lupa kulitnya” karena sering bersebrangan dengan fatsun politik PDI-P (Kompas,20/02/2014).
Pertanyaan besarnya kemudian, benarkah bahwa gebrakan-gebrakan Risma karena
pengaruh kuat Megawati? Lalu kader siapakah
Kusnadi?
Konstitusi Harga Mati
Gagasan
Hakim dalam tulisan tersebut jelas kurang kredibel karena tidak didukung oleh
fakta-fakta yang proporsiaonal. Kesimpulan yang disajikan dapat merusak
pemikiran pembaca yang kurang jeli. Padahal disatu sisi ia mengakui bahwa
kedekatan Megawati dan Jokowi dapat
menjadi bumerang. Namun ia tidak menjelaskan bagaimana buomerang itu bisa
berdampak pada masyarakat. Sebaliknya ia justru mengarahkan pembaca pada
keharusan Jokowi menghormati Megawati, Jasmerah bagi Jokowi.
Jelas
sekali, tulisan Hakim lebih bernuansa politis ditengah-ditengah statusnya
sebagai akdemisi yang harus berpegang teguh pada logika berpikir dan
pengetahuan yang benar.
Yang perlu
saya luruskan dan tidak dapat ditawar lagi di sini, bahwa konstitusi harga
mati. Bagi setiap warga negara, pejabat pemrintah dan terlebih bagi Presiden
Jokowi sebagai kepala tentinggi. Kisruh KPK Vs Polri masih hangat hingga kini.
Masyarakat menanti keputusan Jokowi yang harus taat pada konstitusi dan rakyat
di atas segalanya.
Miftahul
Arifin, Peneliti di Idea Studies UIN Walisongo Semarang
Dimuat di
Wawasan, 05 Februari 2015
No comments:
Post a Comment